Sabar dalam Berhusnudzon
Kisah Nabi Khidir a.s dalam Al-Qur'an mengajarkan kita untuk banyak berhusnudzon. Nabi Musa yang ingin belajar darinya hanya disyaratkan untuk tidak banyak bertanya akan apa-apa yang dilihatnya nanti, lalu beliau mengiyakan. Akan tetapi baru 3 kejadian berlalu, kesabarannya untuk menjaga husnudzon telah habis melihat tindakan Nabi Khidir yang dianggapnya sebagai "kesalahan".
Nabi Musa pun tak mampu membendung pertanyaannya. Lalu semua dijawab dengan hikmah yang lebih besar dibaliknya.
"Padahal sudah kusyaratkan untuk tidak banyak bertanya, bukan? Karena kau tidak mampu memenuhi janji, maka perjalanan kita cukup sampai disini"
Andai, Nabi Musa mampu menjaga sabar dan husnudzonnya, akan banyak lagi hikmah yang dipelajarinya. Qodarullah.
Akan tetapi, saat dijelaskan satu-persatu hikmah kejadian yang baru dialami, Nabi Musa tidak pernah membantah, tidak mendebat apalagi menuduh apakah pengetahuan Nabi Khidir benar-benar "benar"?
Andai itu terjadi zaman now, bisa jadi tak ada manusia selevel Nabi Musa.
Melihat anak kecil dibunuh Nabi Khidir, lalu dikatakan bahwa si anak ketika besar akan menjadi anak durhaka yang menyusahkan kedua orangtuanya yang shalih, Nabi Musa percaya. Benar-benar percaya tanpa mendebat.
Tak ada pertanyaan, "tahu dari mana Nabi Khidir, kan anak ini masih kecil?"
"Bukankah membunuh itu dosa?"
"Bukankah orangtuanya shalih, bisa saja dia akan dididik dengan baik atau berkat doa orangtua dia akan lebih baik"
"Sedangkan banyak orang jahat bisa bertaubat, apalagi anak kecil yang masih mudah diarahkan"
Tak ada pertanyaan. Sama sekali.
Justru penyesalan, mengapa ia tak bersabar mengedepankan husnudzon untuk mereguk hikmah lebih banyak lagi.
Kisah ini mengandung banyak pelajaran, khususnya bagi orang-orang yang sedang mengajak orang lain dalam kebaikan. Jangan sampai tujuan dakwah terpecah dengan sarana yang semu. Sedangkan Rasulullah saja mengatakan bahwa pasti Ia akan diperintahkan untuk merombak Ka'bah (yang dijadikan sesembahan bangsa Jahiliyah, jika diteruskan oleh muslimin akan terlihat seolah-olah melanjutkan tradisi Jahiliyah dengan beribadah disana), jika saja tidak demi kaumnya yang akan banyak menolak dan keluar dari Islam.
Lihatlah!
Islam melihat secara luas.
Alih-alih merombak Ka'bah menjadi simbol muslim yang baru, lebih baik tetap sama daripada harus kehilangan sejumlah orang yang telah beriman keluar dari Islam.
Lihatlah, fokusnya bukan pada simbol tapi pada objek dakwah itu, manusianya. Ibarat ingin membangun masjid demi mempunyai tempat shalat berjamaah, tapi dalam proses pembangunannya tidak mengutamakan persatuan orang-orang yang membangun simbol ibadah tersebut.
Masjid sedang dibangun, tapi sudah ribut antara membangun masjid mewah atau sederhana, kemudian ribut membicarakan apakah shalat subuh pakai qunut atau tidak, dan hal yang memecah-belah semacam itu. Perang debat terjadi, friksi memisahkan bagian qunut dan tidak qunut. Akhirnya saat masjid sudah jadi sempurna, shalat jamaah siap didirikan, jamaah sudah kabur entah kemana.
Diskusilah, Islam adalah keluarga.
Musyawarah diajarkan dalam Al-Qur'an. Selama ada bagian jamaah yang menentang hasil musyawarah, dengarkan mengapa mereka menyampaikan hal tersebut.
Yang berbeda pendapat dirangkul, jangan dipukul.
Kita tidak tahu, siapa di posisi Nabi Musa, siapa di posisi Nabi Khidir.
Sedangkan sekelas Abu Bakar r.a dan Umar bin Khattab r.a - yang notabene dua sahabat utama, sama-sama dijamin masuk surga - sering mengutarakan dua pendapat yang jauh berbeda bagai kutub utara dan selatan. Sampai Allah melalui firman-Nya, atau perantaraan Nabi, memutuskan siapa yang benar diantara keduanya.
Apakah keduanya berbeda pendapat karena salah satunya lemah iman? Apakah karena kebencian? Apakah menginginkan perpecahan?
Tidak, sebaliknya justru keduanya dalam rangka saling nasehat-menasehati.
Karena bisa jadi, mereka berbeda pendapat karena sama-sama berpegang pada sebuah dalil. Satunya ingin mengambil manfaat meski mengandung mudhorot, satunya ingin meninggalkan mudhorot.
Maka musyawarah dengan mempertimbangkan mana yang lebih baik antara keduanya, bahkan jika antara dua pendapat ada mudhorotnya, maka pilih yang paling ringan mudhorotnya. Jika ingin membangun masjid mewah dengan jalan gharar (ketidakpastian) yang mengandung kerugian atau mudhorot dikemudian hari, maka lebih baik bersabar dengan kondisi masjid sederhana tapi tidak menimbulkan resiko kerugian apapun.
Jika pemahaman ini tertanam baik disemua jamaah, maka dua kubu yang berbeda pendapat akan saling merangkul, bukan saling memukul. Kita akan jeli, untuk melihat perbedaan pendapat dengan kacamata husnudzon.
Bisa jadi, yang milih cara sederhana dalam menggunakan uang jamaah, adalah caranya menasehati bahwa setiap sen infaq yang dititipkan hamba-hamba Allah akan dipertanggungjawabkan dihadapanNya. Pada hari dimana tidak ada dinar atau dirham, hanya amal perbuatan yang dijadikan alat transaksi pertanggungjawaban amal perbuatan.
Dengan kacamata husnudzon, kelompok yang berseberangan akan selalu melihat perbedaan sebagai sumber pembelajaran. Kenapa bisa ada yang berbeda dengan pemikiran saya? Apakah dalilnya 100% salah dan dalil saya 100% benar?
Salah satu dasar dalam berakhlaq terhadap sesama muslim, husnudzon. Semoga kita termasuk orang-orang yang Allah anugerahi akhlaq dasar ini, yang tampaknya mudah dalam konsep tapi sangat sulit dalam praktiknya.
Kagawa, 10 September 2020
Yenni Mulyati

Comments
Post a Comment