Study from Home Ala Anak SD Jepang
Sudah beberapa pekan ini beranda dipenuhi curhatan emak-emak soal anaknya yang harus belajar online dari rumah. Saya tentu saja mengamati story teman-teman, membaca banyak status bahkan tulisan para ibu yang mendampingi anaknya belajar di rumah. Menurut saya, para guru apalagi ibu-ibu di Indonesia itu keren! Jujur saja, belum tentu saya mampu sesabar mereka.
Kembali soal belajar online, sekali lagi menurut saya banyak pertimbangan untuk melaksanakannya. Mungkin saja setiap orang tua punya smartphone dan laptop, contohnya saya dan suami yang bisa memfasilitasi kedua anak kami. Akan tetapi, secara fungsi tentu saja berpengaruh karena laptop sangat penting untuk keseharian kami sebagai mahasiswa. Termasuk smartphone, meski bisa saja dipinjamkan ke anak sebagai media belajar, tetap saja akan mengganggu sewaktu-waktu jika ada panggilan penting yang harus terganggu karena aktivitas belajar daring.
Sebagai contoh, jika menerima beasiswa dari Indonesia, pihak bank Jepang akan menelpon ke nomor yang bersangkutan dan mengkonfirmasi uang apa yang masuk sebagai transferan tersebut. Jika panggilan tidak diangkat atau balik direspon segera, transferan tersebut bisa dipending atau bahkan dikembalikan kepada rekening asal. Akibatnya fatal, bukan? Banyak proses lagi mulai dari memohon transer ulang, menunggu telpon dan konfirmasi untuk mengurus beasiswa tersebut. Hal ini terus dilakukan setiap kali ada uang transferan masuk, meski sudah berkali-kali per 3 bulan dan selama bertahun-tahun. Jadi sangat penting sebuah HP dipegang langsung oleh pemiliknya, khususnya di hari aktif jam kantor.
Jikapun belajar daring akan dilaksanakan, pasti akan ada pendataan berapa orang yang mungkin terkendala dengan sistem ini. Lalu diputuskan bantuan sebagai dukungan bagi kalangan yang membutuhkan ini. Sebagai contoh, anak yang akan masuk kelas 1 SD dan dianggap membutuhkan bantuan finansial, maka akan ditawarkan bantuan sekitar 50.000 yen. Uang ini digunakan untuk membeli seragam sekolah, randoseru (ransel, harganya mulai 2 jutaan rupiah sampai 20 juta juga ada di pasaran tergantung merk dan kualitasnya), dan lain sebagainya.
Saat naik kelas, ada lagi bantuan alat sekolah meski hanya sebesar 11 ribuan yen bagi anak sekolah yang dianggap membutuhkan. Padahal uang sebanyak itu ya tidak akan habis karena jika mau berhemat menggunakan fudebako (kotak pensil) sebelumnya dan alat tulis yang sudah ada. Tapi jika harus membeli segala sesuatunya serba baru di kenaikan kelas, uang tersebut ya tidak ada artinya. Maklum saja di Jepang ada barang murah seharga 100 yen di toko Daiso, Hyakuen'ya, atau toko barang bekas, ada juga perlengkapan sekolah bermerk yang senilai itu hanya dapat 2-3 buah saja.
Kembali ke laptop.
Secara garis besar, menurut saya sistem pembelajaran daring dengan melapor foto atau video hanyalah sebuah bentuk budaya dari negara tersebut. Di Jepang, jika anak menulis sudah membaca sekian halaman buku bacaan, tidak ada guru yang meragukan kebenarannya. Mengapa?
Pertama, kejujuran sudah menjadi kebiasaan. Kedua, kebiasaan jujur melahirkan kepercayaan. Kemudian, dua hal penting ini membentuk siklus budaya. Jangankan anak sekolah, mahasiswa yang mendapat bantuan dana penelitian di luar negeri saja, cukup hanya melapor fotocopy tiket dan boarding pass perjalanannya. Tidak perlu memberi foto turun lapangan atau video saat wawancara, bahkan laporan hasil tertulis pun cukup kepada sensei saja. Tidak perlu tembusan laporan kepada dekan apalagi rektor universitas.
Begitulah, jika anak didik jujur dengan kegiatan belajar yang dilakukannya, otomatis guru percaya tanpa harus melihat bukti visual. Justru kejujuran dan kepercayaan melahirkan sikap natural tanpa pencitraan. Misalnya anak murojaah hafalan dengan orangtua, cukup bukti tandatangan orangtua di kertas laporannya. Toh proses belajar itu panjang dan alami, jika harus membuat video dengan durasi singkat yang menunjukkan kesempurnaan si anak dalam belajarnya, entah berapa lama yang dibutuhkan orangtua untuk merekamnya berkali-kali. Karena bisa saja sudah lancar saat latihan, lalu jadi grogi saat direkam.
Sejak kelas 1 sampai kelas 4 SD anak saya, seumur-umur belum pernah ada tugas sekolah yang meminta anak foto lalu dikirim atau dilampirkan sebagai bukti laporan. Baru satu kali anak sulung meminta satu buah fotonya saat bayi dicetak, sebagai bahan tugas bercerita masa kecil di depan kelas sambil menunjukkan foto tersebut kepada teman-temannya. Kesederhanaan dalam pembelajaran di negara maju sekelas Jepang, akan saya ceritakan lebih detail di lain kesempatan.
Itulah kenapa saya sampaikan ibu-ibu di Indonesia luarbiasa. Mendampingi anak belajar daring dari rumah dengan segala kerumitan syarat dan ketentuan belajar-mengajar, kami disini belum ada apa-apanya. Semoga selalu diberi kesabaran yang luas mendampingi aktivitas buah hati tercinta selama di rumah saja.
Tabarakallaah...
Kagawa, Yenni Mulyati
Bagaimana tidak, di Jepang belajar juga dilaksanakan dari rumah. Bahkan study from home sudah dilaksanakan beberapa pekan lebih awal dibanding Indonesia. Sebenarnya, sejak wabah covid 19 merebak di akhir Februari, perbincangan untuk meliburkan anak-anak sekolah mulai dibahas dan akhirnya menjadi instruksi Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada awal Maret 2020.
Anak-anak sekolah kaget, begitupun orangtua seluruh Jepang. Meskipun, aroma peliburan ini mulai terendus sejak munculnya kasus pertama pada bulan Januari. Di Jepang, meliburkan anak dari sekolah tentu saja berimbas pada orangtua, khususnya para ibu yang bekerja di siang hari saat anak bersekolah.
Anak-anak sekolah kaget, begitupun orangtua seluruh Jepang. Meskipun, aroma peliburan ini mulai terendus sejak munculnya kasus pertama pada bulan Januari. Di Jepang, meliburkan anak dari sekolah tentu saja berimbas pada orangtua, khususnya para ibu yang bekerja di siang hari saat anak bersekolah.
Pada umumnya, sekolah di Jepang libur akhir tahun ajaran sekitar pekan ke-4 Maret, lalu masuk kembali pada awal April. Tahun ajaran baru yang ditandai dengan awal musim semi, setelah sakura mekar dan perayaan hanami (melihat bunga) bersama keluarga. Karena wabah covid 19 tahun ini, libur sekolah dimajukan pada 2 Maret dan berlanjut sampai awal April.
Libur pertama tersebut, seluruh kelas SD pulang dengan membawa syukudai (pekerjaan rumah/PR) untuk dikerjakan selama libur sekolah. Dua pekan kemudian adalah jadwal pembagian raport, sudah jauh-jauh hari setiap orang tua siswa diberikan jadwal penerimaan raport. Waktunya berkisar 30 menit untuk bincang langsung dengan guru kelas, terkait perkembangan belajar dan perilaku anak selama satu semester. Jadi orangtua datang bergiliran dan tidak saling menunggu, karena setiap anak punya jadwal masing-masing. Semua datang tepat waktu sehingga 30 menit waktu berbincang benar-benar efisien dan berkualitas.
Bagaimana guru membuat jadwal? Sebelumnya tiap orangtua diberi angket waktu pembagian rapor hasil belajar. Orangtua tinggal melingkari hari dan jam pertemuan yang diinginkan. Nijuu maru (dobel lingkaran, untuk waktu paling diinginkan), dan maru (lingkaran) untuk waktu pilihan kedua. Jika ada jadwal bertabrakan, maka guru akan melakukan konfirmasi langsung kepada orangtua melalui renrakucho (buku penghubung) atau sambungan telpon.
Setelah rapor diberikan, ada titipan PR lagi untuk 2 pekan libur mendatang. Karena kali ini memang libur kenaikan kelas, khusus kelas 1 SD yang naik ke kelas 2 dibebaskan dari PR, sementara kelas diatasnya membawa setumpuk PR lagi. Jangan khawatir, buku cetakan PR ini dilengkapi dengan halaman jawaban dibagian belakang. Gunanya untuk orangtua mencocokkan jawaban anak sambil melingkar-lingkari jawaban benar dan menyuruh memperbaiki jika ada kesalahan. Asyik, ya? Namanya juga libur kenaikan kelas, jadi PR hanya sekedar membuat anak kembali mengulang pelajaran selama liburan.
Lanjut setelah hari masuk sekolah tiba, anak-anak dengan gembira kembali ke sekolah. Setiap anak tanpa terkecuali wajib menggunakan masker. Esoknya ada upacara penerimaan siswa kelas 1 SD meski berlangsung singkat dan terbatas. Hari jumat menjelang akhir pekan disampaikan lagi, kalau setelahnya akan libur panjang lagi selama 2 pekan. Hanya 4 hari masuk sekolah, setelah itu libur lagi.
Anak-anak sekolah sedih. Akan tetapi, selama disekolah mereka sudah diberi sosialisasi mengenai virus covid 19, penularannya, dan upaya pencegahan sehingga mereka paham mengapa harus belajar dari rumah. "Abunai (bahaya) kata sensei (guru)", lapor anak-anak.
Anak-anak sekolah sedih. Akan tetapi, selama disekolah mereka sudah diberi sosialisasi mengenai virus covid 19, penularannya, dan upaya pencegahan sehingga mereka paham mengapa harus belajar dari rumah. "Abunai (bahaya) kata sensei (guru)", lapor anak-anak.
Okelah, saatnya berjuang lagi mendampingi anak-anak belajar di rumah.
Adapun PR yang ditugaskan adalah Kokugo (bahasa nasional, menulis huruf kanji), Sansu (berhitung, jumlahnya 6 lembar bolak-balik), Shakai (bermasyarakat, misal penggunaan air untuk apa saja dalam seharinya), dan Rika (sains, menanam tanaman yang bisa dipilih seperti terong yang bibitnya disediakan sekolah, orangtua menyiapkan tanah dan pot tanaman. Di Jepang rata-rata tanah untuk menanam harus beli di toko khusus). Jumlah PR wajar dengan hitungan dibagi perhari 1-2 lembar, disetiap lembar PR harus tertulis tanggal pengerjaannya.
Adapun PR yang ditugaskan adalah Kokugo (bahasa nasional, menulis huruf kanji), Sansu (berhitung, jumlahnya 6 lembar bolak-balik), Shakai (bermasyarakat, misal penggunaan air untuk apa saja dalam seharinya), dan Rika (sains, menanam tanaman yang bisa dipilih seperti terong yang bibitnya disediakan sekolah, orangtua menyiapkan tanah dan pot tanaman. Di Jepang rata-rata tanah untuk menanam harus beli di toko khusus). Jumlah PR wajar dengan hitungan dibagi perhari 1-2 lembar, disetiap lembar PR harus tertulis tanggal pengerjaannya.
Selain itu, yang tak pernah ketinggalan adalah lembar evaluasi membaca buku. Di kertas tersebut terdapat isian tanggal dan hari, judul buku, berapa halaman yang dibaca dan berapa banyak buku yang dibaca keseluruhan. Buku bacaan berjumlah ribuan pcs di perpustakaan sekolah, anak-anak dipersilahkan membawa buku yang diinginkan untuk dibaca selama libur. Buku tersebut boleh apa saja bentuknya, entah buku cerita, komik ensiklopedi, ataupun buku cerita bergambar. Selama libur disediakan hari untuk menukar buku tersebut dengan buku lain ke sekolah.
Adalagi pelajaran Taiku (atletik), tapi kata sensei tidak wajib ditulis. Karena para guru tahu, walau tidak disuruh berolahraga sekalipun, anak-anak cenderung tetap beraktifitas fisik dengan berjalan kesana-kemari. Minimal anak-anak membawa pulang nawatobi (skipping atau tali lompat) miliknya masing-masing yang bisa digunakan untuk aktivitas lompat tali di halaman rumah.
Pada hari yang ditentukan untuk masuk sekolah di akhir April, tiba-tiba ditelpon sekolah kalau salah satu orangtua saja (bisa ayah atau ibu) yang datang ke sekolah untuk menukar PR yang sudah dikerjakan dengan PR yang baru. Lalu menyusul e-mail dari sekolah kalau libur akan berlangsung hingga akhir Mei seiring emergency state atau status darurat di Jepang yang diperpanjang 1 bulan lagi.
Well, itu tadi kegiatan anak sekolah Jepang yang diliburkan.
Tidak ada pembelajaran online? Tidak.
Pertimbangannya sederhana, tidak semua anak mempunyai fasilitas daring per anak dalam 1 keluarga. Demikian juga mungkin sambungan internet. Padahal Jepang termasuk salah satu negara dengan kecepatan internet yang baik di dunia, dan hampir semua orang mempunyai akses online bahkan manula sekalipun. Bahkan saya dan teman-teman mahasiswa lain pun punya akses wifi di apato (apartemen). Tujuannya untuk memudahkan akses perkuliahan saat harus belajar di rumah, saat tidak berada di seputaran kampus dan terkoneksi wifi gratis kampus.
Tidak ada pembelajaran online? Tidak.
Pertimbangannya sederhana, tidak semua anak mempunyai fasilitas daring per anak dalam 1 keluarga. Demikian juga mungkin sambungan internet. Padahal Jepang termasuk salah satu negara dengan kecepatan internet yang baik di dunia, dan hampir semua orang mempunyai akses online bahkan manula sekalipun. Bahkan saya dan teman-teman mahasiswa lain pun punya akses wifi di apato (apartemen). Tujuannya untuk memudahkan akses perkuliahan saat harus belajar di rumah, saat tidak berada di seputaran kampus dan terkoneksi wifi gratis kampus.
Dalam e-mail terbaru dari sekolah kepada orangtua, memang diberikan alamat website yang bisa dikunjungi untuk membantu anak belajar dirumah. Tapi dalam hal ini website itu bentuknya opsional dan bantuan, bukan sebuah kewajiban dalam proses pembelajaran dirumah.
Sampai saat ini, pembelajaran online masih dipertimbangkan untuk dilaksanakan kedepannya. Tentu saja mencari format terbaik dengan platform mendidik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mereka juga harus memikirkan murid dari kalangan yang terbatas fasilitas baik gadget atau jaringan internetnya. Tentu sebuah kebijakan harus disertai dengan solusi jika terdapat kesulitan dalam pelaksanaannya.
Sampai saat ini, pembelajaran online masih dipertimbangkan untuk dilaksanakan kedepannya. Tentu saja mencari format terbaik dengan platform mendidik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mereka juga harus memikirkan murid dari kalangan yang terbatas fasilitas baik gadget atau jaringan internetnya. Tentu sebuah kebijakan harus disertai dengan solusi jika terdapat kesulitan dalam pelaksanaannya.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pemberian dobel 10.000 yen tunjangan bagi setiap anak perbulannya. Memang di Jepang setiap anak usia 0-3 tahun mendapat 15.000 yen perbulan, dan 10.000 yen per anak hingga usia 12 tahun. Tapi khusus di masa pandemi ini, kabarnya tunjangan anak akan di dobel. Saya belum bisa mengetahui pasti kebenarannya, karena tunjangan diberikan rapel selama 4 bulan per bulan Februari, Juni dan Oktober setiap tahunnya. Mohon diluruskan jika berita dari TV versi teman saya kurang tepat.
Demikian info belajar dari rumah ala anak SD Jepang. Semoga bisa menjadi perbandingan betapa sederhananya proses belajar yang dilakukan anak-anak disini dibanding tanah air. Memang di Jepang dalam keseharian pun lebih mengutamakan asas Simpel is The Best. Untuk alat komunikasi juga lebih sering dengan fotocopy informasi dibanding membentuk grup line antar orangtua dan guru. Pernah saya dimasukkan di grup emak-emak hoikuen (nursery/TK) saat akan menyiapkan surprise untuk guru kelas saat perpisahan, setelah itu grup berakhir begitu saja.
Entah jika di tempat lain ya, tapi hanya satu dua orang guru yang kontak pribadinya diketahui orangtua. Jika ingin menelpon, ya langsung ke nomor sekolah, sebutkan nama anak, kelas, dan grupnya, lalu akan disambungkan pada guru yang bersangkutan. Jika informasi bersifat umum, maka e-mail adalah hal wajib antar orangtua dan sekolah. Alamat e-mail wajib diperbaharui jika berubah dan direspon segera jika ada info gempa dimana seluruh anak harus pulang lebih awal, dan semacamnya.
Kembali soal belajar online, sekali lagi menurut saya banyak pertimbangan untuk melaksanakannya. Mungkin saja setiap orang tua punya smartphone dan laptop, contohnya saya dan suami yang bisa memfasilitasi kedua anak kami. Akan tetapi, secara fungsi tentu saja berpengaruh karena laptop sangat penting untuk keseharian kami sebagai mahasiswa. Termasuk smartphone, meski bisa saja dipinjamkan ke anak sebagai media belajar, tetap saja akan mengganggu sewaktu-waktu jika ada panggilan penting yang harus terganggu karena aktivitas belajar daring.
Sebagai contoh, jika menerima beasiswa dari Indonesia, pihak bank Jepang akan menelpon ke nomor yang bersangkutan dan mengkonfirmasi uang apa yang masuk sebagai transferan tersebut. Jika panggilan tidak diangkat atau balik direspon segera, transferan tersebut bisa dipending atau bahkan dikembalikan kepada rekening asal. Akibatnya fatal, bukan? Banyak proses lagi mulai dari memohon transer ulang, menunggu telpon dan konfirmasi untuk mengurus beasiswa tersebut. Hal ini terus dilakukan setiap kali ada uang transferan masuk, meski sudah berkali-kali per 3 bulan dan selama bertahun-tahun. Jadi sangat penting sebuah HP dipegang langsung oleh pemiliknya, khususnya di hari aktif jam kantor.
Jikapun belajar daring akan dilaksanakan, pasti akan ada pendataan berapa orang yang mungkin terkendala dengan sistem ini. Lalu diputuskan bantuan sebagai dukungan bagi kalangan yang membutuhkan ini. Sebagai contoh, anak yang akan masuk kelas 1 SD dan dianggap membutuhkan bantuan finansial, maka akan ditawarkan bantuan sekitar 50.000 yen. Uang ini digunakan untuk membeli seragam sekolah, randoseru (ransel, harganya mulai 2 jutaan rupiah sampai 20 juta juga ada di pasaran tergantung merk dan kualitasnya), dan lain sebagainya.
Saat naik kelas, ada lagi bantuan alat sekolah meski hanya sebesar 11 ribuan yen bagi anak sekolah yang dianggap membutuhkan. Padahal uang sebanyak itu ya tidak akan habis karena jika mau berhemat menggunakan fudebako (kotak pensil) sebelumnya dan alat tulis yang sudah ada. Tapi jika harus membeli segala sesuatunya serba baru di kenaikan kelas, uang tersebut ya tidak ada artinya. Maklum saja di Jepang ada barang murah seharga 100 yen di toko Daiso, Hyakuen'ya, atau toko barang bekas, ada juga perlengkapan sekolah bermerk yang senilai itu hanya dapat 2-3 buah saja.
Kembali ke laptop.
Secara garis besar, menurut saya sistem pembelajaran daring dengan melapor foto atau video hanyalah sebuah bentuk budaya dari negara tersebut. Di Jepang, jika anak menulis sudah membaca sekian halaman buku bacaan, tidak ada guru yang meragukan kebenarannya. Mengapa?
Pertama, kejujuran sudah menjadi kebiasaan. Kedua, kebiasaan jujur melahirkan kepercayaan. Kemudian, dua hal penting ini membentuk siklus budaya. Jangankan anak sekolah, mahasiswa yang mendapat bantuan dana penelitian di luar negeri saja, cukup hanya melapor fotocopy tiket dan boarding pass perjalanannya. Tidak perlu memberi foto turun lapangan atau video saat wawancara, bahkan laporan hasil tertulis pun cukup kepada sensei saja. Tidak perlu tembusan laporan kepada dekan apalagi rektor universitas.
Begitulah, jika anak didik jujur dengan kegiatan belajar yang dilakukannya, otomatis guru percaya tanpa harus melihat bukti visual. Justru kejujuran dan kepercayaan melahirkan sikap natural tanpa pencitraan. Misalnya anak murojaah hafalan dengan orangtua, cukup bukti tandatangan orangtua di kertas laporannya. Toh proses belajar itu panjang dan alami, jika harus membuat video dengan durasi singkat yang menunjukkan kesempurnaan si anak dalam belajarnya, entah berapa lama yang dibutuhkan orangtua untuk merekamnya berkali-kali. Karena bisa saja sudah lancar saat latihan, lalu jadi grogi saat direkam.
Sejak kelas 1 sampai kelas 4 SD anak saya, seumur-umur belum pernah ada tugas sekolah yang meminta anak foto lalu dikirim atau dilampirkan sebagai bukti laporan. Baru satu kali anak sulung meminta satu buah fotonya saat bayi dicetak, sebagai bahan tugas bercerita masa kecil di depan kelas sambil menunjukkan foto tersebut kepada teman-temannya. Kesederhanaan dalam pembelajaran di negara maju sekelas Jepang, akan saya ceritakan lebih detail di lain kesempatan.
Itulah kenapa saya sampaikan ibu-ibu di Indonesia luarbiasa. Mendampingi anak belajar daring dari rumah dengan segala kerumitan syarat dan ketentuan belajar-mengajar, kami disini belum ada apa-apanya. Semoga selalu diberi kesabaran yang luas mendampingi aktivitas buah hati tercinta selama di rumah saja.
Tabarakallaah...
Kagawa, Yenni Mulyati
Comments
Post a Comment