Berhaji dari Jepang, Yuk!

Jamaah Haji Jepang yang semuanya perantau Indonesia, 2019

Setahun lalu, adalah perjalanan naik pesawat terbanyak sepanjang sejarah hidup. Bulan Februari pulang ke Gorontalo untuk melakukan penelitian tesis saya, bersama seorang bayi usia 1 tahun pertama kalinya naik Garuda Indonesia (ketahuan selama ini naik maskapai promo, wkwkwk).

Perjalanan selama 1 bulan Jepang-Denpasar (transit)-Jakarta-Gorontalo-Jakarta-Batam-Jakarta-Jepang, biaya perjalanan semua disponsori oleh sensei yang baik hati. Alhamdulillaah...

Persiapan haji lebih hectic lagi, karena pakai serba promo mencari yg termurah tentu tidak bisa menuntut ternyaman. Setelah perjalanan pertama kalinya ke Tokyo untuk manasik haji dengan pesawat Kagawa-Tokyo-Kagawa, seminggu kemudian naik pesawat lagi untuk mengantar anak-anak liburan (dititipin ke orangtua ding, hehe)

Kagawa (by bus)-Osaka-Malaysia (transit)-Singapore-Kepri (by ferry)-Singapore-Osaka-Kagawa (by bus)

Lalu perjalanan haji sendiri:
Takamatsu-Narita-Haneda-Bangkok-Bahrain-Jeddah 

Lalu sebaliknya saat pulang Jeddah-Bahrain-Bangkok-Haneda-Narita-...

Suami pulang ke Takamatsu, saya sendiri menjemput anak-anak tanpa KTP Jepang dan tanpa pegang HP (hilang di Mekah 😅) sempat khawatir apa gapapa perjalanan lintas negara tanpa HP, maklum zaman now apa-apa serba HP. Ternyata aman-aman saja😁 bahkan sampai kembali ke Jepang lagi baru cari gantinya.

Pas tiba di Kepri sempat bingung bagaimana cara mencari orangtua yang menjemput, karena janjian kan bisa saja terlambat atau posisi yang berbeda. Disaat celingukan kepanasan dan kebingungan itulah seorang tukang ojek menyapa lalu saya berkisah. Dengan tulusnya beliau meminjamkan HP beliau mempersilahkan menelpon. MaasyaAllah, terhubunglah saya dan akhirnya menggunakan jasa beliau ke tempat orang tua menunggu.

Perjalanan menjemput lumayan pendek karena pesawatnya Scott yang direct. Narita-Singapore-Kepri (by ferry)
Lalu sebaliknya balik ke Jepang Kepri (by ferry)-Singapore-Malaysia-Osaka-Kagawa (by bus)

Bacanya aja capek ya, hihihi... tapi bismillah saya tau satu-persatu harus dijalani. Saya harus kuat, berbekal ridho suami yang tidak bisa lama meninggalkan studinya karena 3 pekan sudah dipakai berhaji. Harus saya, tidak ada orang lain... yang saya ingat hanya satu tiap menjalani lelahnya fase perjalanan itu, "Ya Allah, temani hamba... hamba hanya ingin menuju rumah-Mu"

Kalau harus diulang sekali lagi, mau yang bagian berhaji saja jangan sebelum dan sesudahnya... Itu hanya the power of kepepet 😓

Yang mau tau kisah lengkapnya, ada dilink berikut ya...

http://www.yennimulyati.com/2020/07/antara-arafah-dan-ijabah.html?m=1

Dalam tulisan itu saya bercerita kenapa kami memilih Jepang (memang selain menuntut ilmu, sudah diniatkan untuk bisa berhaji), berapa biaya berhaji dari Jepang, darimana kami dapat uang jutaan yen tersebut, perjuangan mengantar anak-anak termasuk mengulik kami berangkat studi dalam keadaan keuangan minus, pergi berhaji juga belum punya rumah apalagi mobil dll 😅 (alhamdulillah setidaknya sudah membantu orangtua dan mertua membangun rumah)

Semoga bisa jadi motivasi ya, saya dulu bercita-cita dalam keadaan tidak punya apa-apa, jauh panggang dari api. Ada yang berangkat haji bilang, "Alhamdulillah saya berangkat saat usia muda, jadi bisa melaksanakan haji dengan tenaga optimal bahkan membantu jamaah lain yang lanjut usia"

Saya catat dalam hati, "Yaa Allah, saya juga ingin bisa berangkat ke Baitullah usia muda"

Qodarullah, bukan hanya berangkat di usia 32 tahun, tapi ditengah jamaah lain yang rata-rata seusia bahkan di rombongan yang termuda berusia 20 tahun, 10 tahun dan 5 tahun 😅

Ada yang bilang, "Kencangkan doa bisa berhaji, minta terus sama Allah"

Saya catat dalam hati, "Yaa Allah, berikan kesempatan saya berhaji (sebelum berumroh)"

Qodarullah, walau belum punya tabungan haji tapi doa itu terus saya lantunkan. Tak disangka, Allah bukakan kesempatan itu sekaligus uangnya diberikan cuma-cuma. Walaupun perjalanannya penuh perjuangan dan airmata.

Satu hal lainnya yang paling memberatkan sebelum memutuskan mendaftar, kebutuhan dasar papan keluarga kami belum ada. Qodarullah, Allah pertemukan saya dengan orang-orang hebat guru-guru saya yang sudah bergelar hajjah; Bu Novianita Achmad, Bu Beti Bantu, Bu Rahma Katili  yang dengan enteng memotivasi,

"Gampang itu punya rumah, Allah akan ganti itu biaya berhaji berkali-kali lipat. Tidak ada orang yang miskin sepulang berhaji."

"Nanti insyaAllah ketemu saya ya di Mekah", sambil memberi hadiah satu set Al-Qur'an, beliau Bu Zuhriana Yusuf tersenyum khas menyemangati.

"Kami doakan insyaAllah niatan mba Ulya Allah mudahkan", tutup mereka melepas kepulangan saya di bandara. Saat itu pulang ke Gorontalo bulan Februari, Maret kembali ke Jepang langsung mantap mendaftarkan diri ke travel haji sambil lobi minta keringanan mencicil sampai akhir Ramadhan. Alhamdulillah mereka mau mengerti alasan kami menunggu beasiswa 😊

Qodarullah, saya bisa silaturahim bertemu beliau di hotel Mekah menjelang puncak haji. Lalu beliau telfon teman-temannya satu persatu di Gorontalo, "Saya sudah bertemu Ulya disini", ungkapnya bahagia. MaasyaAllah, tahun lalu adalah tahun terbaik sepanjang hidup saya 😭

Kadang kita menghitung-hitung harta dunia, padahal yang paling berharga adalah memiliki saudara yang ikatan hatinya lebih dari keluarga. Menyayangi karena Allah, mendoakan saudaranya dengan tulus seperti berharap kebahagiaan untuk diri mereka sendiri. Setelah itupun masih banyak orang-orang baik yang Allah hadirkan dalam perjalanan panjang kami sebelum dan selama di Jepang.

Semoga teman-teman yang berniat ke Baitullah, Allah mudahkan niatan tersebut sampai benar-benar terijabah menjadi salah seorang tamu pilihan-Nya. Allah memanggil orang-orang yang mau bukan yang mampu, dan memampukan orang-orang yang mau.

Tidak ada dong muslim yang tidak mau berhaji?

Pertanyaannya, sebatas apa "mau" itu?
Apakah tadi subuh shalat sudah berdoa ingin berhaji?
Apakah doanya sudah menangis meminta seperti anak kecil yang merengek ke orangtuanya meminta dikabulkan sesuatu?
Apakah mau itu sudah jadi obsesi, sampai memikirkannya berkali-kali sepanjang hari?

Lalu setiap kali teringat obsesi itu, beristighfar, berdzikir dan memantaskan diri menjadi tamu-Nya.

Selain mau, banyak orang terkungkung pada kata "belum mampu". Entah dari segi harta atau keimanan, belum layak menyandang gelar haji. Padahal haji itu bukan sekedar gelar, tapi sebuah rukun Islam yang menjadikan seluruh rukun lainnya sempurna, karena didalamnya ada syahadat, shalat, puasa, dan zakat (mengeluarkan harta untuk berangkat yang nilainya tidak sedikit).

Saya juga termasuk orang yang belum mampu, antara memilih dana untuk beli rumah atau berangkat ke rumah-Nya. Saya pikir pilihan pertama bisa diusahakan seumur hidup, tapi yang kedua belum tentu usia saya masih cukup panjang untuk menunaikannya. Doakan saya dan keluarga yang masih berjuang saat pulang nanti, walau tidak ada target apa-apa.

Doa saya saat di tanah suci pun sederhana, "Ya Allah, cukupkan rizki anak-anak saya, mampukan kami mengganti uang mereka untuk gantian kami berangkatkan haji mereka. Semoga bisa bersama-sama berhaji sekeluarga"

Demikian catatan ini, dari yang berhaji (gratis, alias minjam) dari dana tunjangan anak-anak pemberian pemerintah Jepang. Ayo kuliah ke Jepang bawa keluarga 😍

Comments

  1. Alhamdulillah... Semoga kita dapat beribadah ke tanah suci lagi ya BU... Senangnya dapat teman sekamar yang seperti Ibu....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin yaa Allah... saya juga senang sekali dapat saudara shalihah seceria bu Maya yg membersamai perjalanan yg luarbiasa 😊
      InsyaAllah diijabah doa-doa kita kembali lagi berhaji umroh bersama orang-orang tersayang 💕

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Masjid Pertama Kagawa dalam Doa dan Cita

Niat Pulang Kampung - Part 1

Pendidikan Karakter Khas Jepang (Part 2)