Antara Arafah dan Ijabah (Part 1)
![]() |
| Ran (bunga anggrek) di Takamatsu Airport menuju Tokyo pertama kalinya, untuk manasik haji |
Hari ini, setahun yang lalu. Hari terbaik sepanjang hidup, berada di tempat dimana doa-doa langsung melangit ijabah. Hari diguyur hujan lebat penuh berkah, hari di padang Arafah.
Perkenalkan, kami sepasang suami istri yang sedang studi di negeri matahari terbit. Saya hijrah di musim sakura tahun 2017 bersama 3 orang anak usia 7, 5 dan 2 tahun; menyusul suami yang sudah 6 bulan sebelumnya menetap terlebih dahulu di prefecture Kagawa untuk menempuh pendidikan doktoralnya. Kisah ini saya tulis untuk memotivasi pembaca untuk menjadikan berhaji sebagai obsesi, semoga ada hikmah yang bisa dipetik dari kisah kami.
Kenapa Jepang jadi pilihan?
Setelah melewati proses mendaftar program doktoral di beberapa negara, muncul 2 buah opsi yang menawarkan bersamaan. King Saud University dengan beasiswa dari negara Arab Saudi, satu lagi Ehime University dengan beasiswa dari Lembaga Pendidikan Indonesia. Galau melanda, karena kedua pilihan ini punya sisi kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Jujur saja, niatan untuk kuliah di luar negeri sudah kami rencanakan sejak awal menikah. Bukan itu saja, niatan berhaji saat lanjut kuliah juga sudah kami jadikan doa sepaket. Bukan mengapa, Indonesia sebagai salah satu negara terbesar populasi muslim di dunia, mempunyai porsi haji yang menunggu hitungan belasan bahkan puluhan tahun. Dimana tempatnya, doa kami hanya satu... ya Allah, pilihkan tempat yang terbaik menurut-Mu.
Singkat kata ditengah kebimbangan, diskusi dengan orang tua membuka hati kami. Beliau menyarankan untuk mengambil pilihan di Jepang saja, dengan berbagai pertimbangan yang ada. Dengan berat hati kami berkeluh,
"Tapi kami ingin pergi haji Bu, kalau di Arab Saudi tentu peluangnya lebih besar"
Dengan yakin beliau menjawab,
"Kalau Allah mengijinkan, kalian akan tetap berhaji walaupun dari Jepang"
Bismillah, berbekal ridho orangtua yang menjadi keyakinan kami adalah ridho Allah juga, kami memilih Jepang sebagai tempat kami menuntut ilmu. Dan ucapan orangtua saat itu, terkabul atas izin Allah. MaasyaAllah...
Sudah bawa dana persiapan haji ke Jepang?
Sejak awal kedatangan, saya sudah kontak dengan komunitas muslim yang berpusat di Tokyo terkait bagaimana berhaji. Qodarullah, beberapa bulan setelah kedatangan, saya hamil anak ke-4. Tahun pertama jelas tidak mungkin, selain alasan hamil juga karena dananya belum ada juga, hehe...
Jangankan dana untuk berhaji, untuk berangkat saya dan 3 orang anak saja kami harus menjual semua barang-barang yang kami miliki. Mulai dari motor, perabot rumah sampai mas kawin sekalipun, tak ada yang bersisa. Sampai teman-teman di Gorontalo keheranan, "Memangnya tidak akan kembali lagi kesini, kok semua barang dijual?" yang hanya bisa kami jawab dengan senyuman saja sambil bilang, "tentu saja pulang lagi kesini, memang mau kemana lagi?"
Maklumlah kami adalah pendatang, meski pekerjaan tetap kami di Gorontalo tapi kejadian itu pasti menimbulkan tanda tanya besar bagi orang-orang. Ditambah kami belum punya rumah, dan tempat tinggal orangtua kami adalah di pulau Jawa dan Kepulauan Riau, wajar saja menimbulkan spekulasi bahwa setelah studi kami akan langsung mutasi.
Akan tetapi tidak mungkin kami ceritakan detail ke semua orang kalau yang kami lakukan adalah demi mencari modal berangkat tanpa harus berurusan dengan riba (kami pernah terjerat riba, mobil ditarik setelah ratusan juta setoran cicilan). Soal ini kalau dibahas akan panjang sekali, dan saya punya SK yang jika mau digadai mudah saja cair dana puluhan juta tanpa susah payah kesana-kemari. Tapi kami tahu ini ujian Allah untuk menguji niatan kami benar-benar taubat dari riba.
Tiga pekan sebelum waktu keberangkatan, sensei (professor) suami menanyakan kenapa keluargamu tidak datang-datang? Akhirnya dengan malu-malu dijawab kalau kami masih menunggu uang beasiswa turun di awal April. Saat itu seminggu terakhir di bulan Maret, dan posisi saya dan anak-anak menunggu di pulau Jawa karena tiket penerbangan internasional belum dibeli. Qodarullah mendengar itu, sensei langsung mengeluarkan isi dompetnya dan menyebutkan, "150ribu yen cukup? Ini saya pinjamkan, kamu kembalikan kalau beasiswa sudah turun. Saya percaya kamu"
Allaahu Akbar, dengan bantuan itu saya bisa membeli tiket promo Jetstar dan setibanya di Osaka pada 10 April 2017, beasiswa turun dan uang tersebut langsung digantikan.
Alhamdulillah...
Arigatou, sensei...
Jadi bisa disimpulkan, saya datang dalam keadaan minus, karena masih meninggalkan beberapa hutang yang akhirnya bisa terlunasi beberapa bulan kemudian setelah kedatangan di Jepang.
Beratkah biaya berhaji dari Jepang?
Seiring berjalannya waktu menjalani kehidupan di Jepang, saya bisa mempredikasi berapa jumlah tabungan yang bisa saya kumpulkan. Untuk beasiswa ditambah tunjangan keluarga, anggap saja sudah habis untuk kebutuhan bulanan 5 orang ditambah 1 jabang bayi.
Akan tetapi pemerintah Jepang memberlakukan peraturan yang sama bagi semua orang yang menetap di Jepang, baik warga negara maupun pendatang. Setiap anak per bulannya mendapatkan (kodomo teate) tunjangan anak sampai usia 12 tahun. Usia anak 0-3 tahun mendapat ¥15.000/anak dan lanjut sampai usia 12 tahun mendapat ¥10.000/anak tiap bulannya yang dirapel per 4 bulan diterima setiap awal Februari, Juni, dan Oktober.
Ditahun pertama saya sudah menghitung, berapa total tunjangan 3 orang anak ditambah 1 orang bayi yang akan lahir di tahun berikutnya. Tahun pertama kami mendapat ¥35.000 per bulan, tahun kedua setelah lahir anak ke-4 mendapat ¥50.000 dan awal tahun berikutnya saat anak ketiga masuk usia 4 tahun mendapatkan ¥45.000 per bulan. Saya katakan kepada suami,
"Yah, kalau tunjangan anak ini kita simpan, dalam 2 tahun kita bisa berangkat berhaji"
"Ah, masa sih?"
"Iya, serius kalau ditotal sekitar ¥1.230.000 (sambil tersenyum lebar), biaya haji kan 600an ribu yen... itu sudah termasuk semua kebutuhan kita nitip anak-anak selama kita berhaji"
"Ya sudah, kalau begitu kita tabung saja dulu"
Tahun pertama musim haji, masa kehamilan. Tidak mungkin suami berangkat lebih dulu dan saya tidak punya pendamping ditahun berikutnya.
Tahun kedua musim haji, bayi baru berusia 6 bulan dan kuliah saya masih padat masuk semester 2.
Tahun ketiga musim haji, saya katakan kalau kita tidak berangkat tahun ini, berarti kesempatan kita hilang. Salah satu persyaratan berangkat adalah masa berlakunya KTP Jepang (resident card/zairyu kaado) minimal 6 bulan saat keberangkatan haji.
Akhirnya bismillah ditengah kesempitan yang ada kami niatkan untuk mendaftar ke travel haji di bulan April 2019 setelah menerima beasiswa. Saat itu, kisaran dana haji adalah ¥610.000 (sekitar 79 juta rupiah) per orang dan bisa dibayar down payment sebesar ¥150.000 per orang untuk mendapat porsi keberangkatan.
Kalau bisa disimpulkan, biaya berhaji kami dibayarkan oleh pemerintah Jepang melalui rejeki tunjangan anak-anak. Atau bahasa lain, anak-anak kami yang menghajikan orangtuanya. InsyaAllah akan kami ganti untuk dana haji kalian kelak ya, nak...
Bagaimana dengan anak-anak?
Tahun 2019, musim haji bertepatan sekali dengan libur musim panas anak-anak sekolah. Pilihan pertama, mendatangkan orangtua ke Jepang atau sebaliknya, mengantar anak-anak ke Indonesia. Pilihan pertama kami nilai penuh resiko, karena orangtua kami belum pernah perjalanan jauh ke luar negeri. Ditambah musim panas di Jepang yang luar biasa kering dan panas sangat berbeda dengan di tanah air. Kami khawatir adaptasi tubuh orangtua disini menimbulkan gejala-gejala, sementara asuransi kesehatan Jepang mereka tidak miliki dengan visa kunjungan keluarga.
Belum lagi kendala bahasa, kendaraan utama bersepeda atau jalan kaki untuk berbelanja, dan lain sebagainya. Akhirnya kami putuskan anak-anak yang di antar liburan ke tanah air, walau dari segi biaya jelas berkali lipat dibanding mendatangkan orangtua ke Jepang. Lagipula mereka juga merasa lebih nyaman jika cucu-cucunya yang didatangkan ke Indonesia, bukan mereka yang harus ke Jepang. Akhirnya sejak Juli kami sudah pesankan tiket untuk membawa 4 anak PP Jepang-Indonesia.
Sementara itu, yang mengantarkan adalah saya sendiri. Karena sebagai seorang mahasiswa doktor, beban suami lebih berat untuk meninggalkan kampus terlalu lama. Saya sendiri sebenarnya harus presentasi thesis berdekatan waktu dengan jadwal mengantar anak-anak, tapi saya pikir lebih baik anak-anak sudah diamankan terlebih dahulu. Alhamdulillah ada seorang teman yang membersamai kami dengan seorang anak perempuannya, sehingga walau saya dengan 4 orang anak tapi sangat terbantu dengan pendampingan beliau.
Kebetulan kami satu kampung, sama-sama Kepulauan Riau tapi beliau di Tanjung Pinang sementara saya di Tanjung Uban. Qodarullah bisa bertemu dan janjian dengan beliau, sebuah takdir yang tidak bisa dijelaskan kecuali atas izin Allah. Dan satu lagi, beliau ini adalah seorang istri bos perusahaan yang sangat sederhana dan rendah hati. Setiap saya bertanya ke teman-teman lain yang akan mudik, selalu jawabnya dengan Garuda Indonesia atau Singapore Airline.
14 Juli: berangkat ke Tokyo untuk manasik haji, hanya membawa 2 anak yang kecil, 2 orang kakak dititip menginap dirumah temannya untuk pertama kali sepanjang sejarah tinggal di Jepang, lalu malam terakhir ada 2 orang mahasiswa perempuan yg menemani tidur dirumah
15 Juli: pelaksanaan manasik haji dan bertemu pihak travel untuk pertama kalinya setelah hubungan sejak awal by email dan telepon sesekali.
16 Juli: pemeriksaan kesehatan, suntik meningitis dan influenza di klinik yg bekerjasama dg travel haji
19 Juli: hari terakhir sekolah anak-anak menjelang natsu yasumi
20 Juli: berangkat ke Osaka airport siang harinya, untuk penerbangan Air Asia malam hari transit Malaysia
21 Juli: tiba di Changi airport lanjut ferry ke Tanjung Pinang, tiba tengah hari. Serah terima anak-anak kepada orangtua, lalu sore hari saya kembali ke Singapore karena penerbangan esok harinya sementara ferry terbatas sampai sore.
22 Juli: penerbangan pagi dari Singapore, sore tiba di Osaka lanjut bis ke Kagawa.
23 Juli: presentasi tesis pukul 13.00.
Sensei bertanya, "Selamat ya kamu sudah melalui 2 kali presentasi tinggal yang terakhir. Kapan kamu mau pulang mengantar anak-anak?"
Saat saya jawab, "Sudah kemarin sensei, baru saja saya kembali dari Indonesia" beliaupun terkaget-kaget. Memang saya sudah mendapat izin dan tandatangan beliau untuk kepergian keluar Jepang tapi beliau tidak menandai tanggalnya, hehehe...
Alhamdulillah semua berjalan lancar sesuai rencana, atas izin Allah.
29 Juli: e-visa haji baru keluar 2 hari sebelum keberangkatan. Panjang sekali perjuangan mendapatkannya, melengkapi dokumen yang kurang lengkap dengan jarak Kagawa-Tokyo dengan pos, penantian yang penuh harap dan doa dengan husnudzon dan tangis khawatir sampai akhirnya keluar juga.
31 Juli: berangkat ke Narita Airport Tokyo karena menggunakan pesawat, untuk berkumpul dengan seluruh jamaah haji dari Jepang di Haneda Airport. Disana baru dibagikan kelengkapan haji dan semua dokumen yang selama ini digunakan sebagai syarat pengurusan e-visa. Penuh haru menatap selembar print-out e-visa yang akhirnya bisa dipegang.
1 Juli: dini hari berangkat ke dengan ANA ke DonMueang International Airport di Bangkok untuk bergabung lagi dengan teman-teman jamaah haji Hongkong, lalu melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat Gulf Air ke Bahrain. Dari Bahrain lanjut ke King Abdul Aziz International Airport di Jeddah.
Perjalanan haji insyaAllah akan dibahas di tulisan yang lain.....di Mekah saya kehilangan HP dan resident card (KTP) Jepang yang terselip di covernya saat turun dari bus. Hiks...
23 Juli: perjalanan pulang dari Jeddah ke Bahrain. Lanjut ke Suvarnabhumi Airport di Bangkok. Maskapai ANA air mengalami delay cukup lama di Thailand dan kami mendapat service lounge VIP dengan makanan halal gratis nambah sepuasnya.
25 Juli: tiba di Haneda Airport, Jepang. Lanjut ke Narita Airport untuk penerbangan suami kembali ke Kagawa, saya meneruskan penerbangan internasional menjemput anak-anak ke Indonesia. Masuk Jepang dengan deg-degan karena kehilangan resident card, harus melalui prosedur khusus di imigrasi bandara untuk mendapatkan re-entry Jepang lagi.
26 Juli: penerbangan dengan Scott airline ke Singapore, lanjut ferry pelabuhan Tanjung Pinang.
Siang itu, dijemput oleh Ibu dan 2 buah hati yang paling kecil. Si bayi yang masih berusia 1,5 tahun sudah lama saya sounding, "maaf ya Ran, stop dulu ASInya 1 bulan Bunda mau berhaji"
Saat bertemu itu, Ran bingung menatap saya... ini siapa? Langsung tak bisa menahan tangis yang sejak awal mengantar anak-anak saya tahan tak satu tetes pun keluar.
Saya harus tega, jangan menangis atau merasa berat sedikitpun. Perjalanan haji harus melepas semua yang berhubungan dengan duniawi. Saya matikan rasa, saya kekang semua tangis dan perih, tak sekalipun saya boleh merasa sedih. Kalau Bundanya saja sedih, tentu anak-anak akan lebih terasa lagi dan bisa memberatkan orangtua yang dititipi.
Kenyataannya, semua tumpah dalam tangisan saat bertemu keduanya. "Ini Bunda Ran, Ran ingat? Ran mau minum ASI?", sambil berlinang air mata.
Karena masih menyusui, saya memutuskan untuk tidak mengkonsumsi pil penunda haid. Setelah dihitung siklus haid yg pas melewati puncak haji, saya pasrahkan semua kepada Allah semoga haid datang tepat waktu. Saya juga berdoa semoga tidak ada sindrom lepas ASI karena berhenti menyusui sementara. Qodarullah, tidak ada gejala apapun atas izin-Nya, termasuk haid baru keluar selepas shalat subuh sepulang dari rangkaian ibadah Mina, sebelum melaksanakan tawaf wada. Alhamdulillah...
31 Agustus: berangkat ke Jepang karena libur musim panas telah usai. Dari Tanjung Pinang by ferry ke Singapore, lanjut penerbangan ke Malaysia. Masih setia dengan Air Asia yang harus transit selalu.
1 September: tiba di Jepang dengan selamat sehat sentosa, menjelang tengah malam.
2 September: terpaksa bolos di hari pertama masuk sekolah, karena masih kelelahan perjalanan panjang. Esoknya, anak-anak sudah kembali jalan kaki ke sekolah dengan cerita liburan sebulan penuh di Indonesia :)
Demikian kisah part 1 ya, teman-teman... terimakasih sudah membaca sejauh ini kisah kami. Nantikan cerita berikutnya masih terkait bagaimana perjalanan berhaji dari Jepang :)

Bismillah
ReplyDeleteMaa syaa Allah...
Smg kami jg bisa mlanjutkan pendidikn ke luar negeri sprt ummu brsama suami.
Klo dapat pilihan sprt ummu antara king saud university atau ehime jepang.Ana cenderung pilihan trbesar ke king saud university dgn banyak keutamaan menuntut ilmu di kota suci insya Allah.Smg Allah mudahkan ...aamiin ya Allah.
Syukron sdh berbagi pngalaman umm:)
Aamiin yaa Allah
DeleteSemoga dimudahkan ya niatannya. Takdir Allah selalu terbaik bagi setiap hamba, asal diawali dg niat yg lurus dan cara yg benar. Semoga Allah ijabah doanya, ridho dan berkah selalu ya Bu...