Hikmah Corona di Jepang

Setiap takdir di dunia tak ada yang sia-sia. Semua punya tujuan mengapa Yang Maha Kuasa membuat sebuah peristiwa terjadi atas izin-Nya. Sesungguhnya takdir apapun yang menimpa setiap makhluk, baik itu baik atau buruk, selalu ada hikmah yang menyerta. Sayangnya tak semua orang diberi ketajaman rasa untuk menilainya, apalagi jika terkait takdir buruk yang siapapun pasti tak suka. Apalagi kalau berbicara soal wabah corona.

Tiga tahun menjalani kehidupan di Jepang dengan suka dukanya, tak terbayangkan jika harus menghadapi pandemi yang dihadapi seluruh dunia disini. Disini dibumi Allah yang jauh berbeda kondisinya dibanding tanah air. Bahkan ini sudah terjadi sebelum di Indonesia marak, sejak musim dingin berlalu dan masyarakat negeri sakura harus menyaksikan momen terbaik pergantian musim dengan berjarak. Sakura yang mekar tahun ini tak bisa dinikmati bersama, hanami yang dinanti tetap indah meski tak ramai apalagi semarak.

Corona memang menyebar kekhawatiran, banyak kisah usaha kolaps berguguran hanya mampu bertahan dalam hitungan bulan. Sedihnya mendengar pegawai hotel yang harus diliburkan karena pengunjung membatalkan pesanan kamar sejak awal tahun. Restoran pun sepi apalagi resto daging all you can eat, yang memang dikhawatirkan lebih beresiko membawa bakteri karena rata-rata disantap setengah matang. Belum lagi usaha kecil menengah yang sudah mengibar bendera putih sejak awal, tak ada pemasukan sehingga cadangan tabungan perusahaan hanya cukup membayar gaji karyawan beberapa bulan, setelahnya tak ada pilihan selain merumahkan. 

Banyak kisah sedih yang terjadi, tapi saya ingin berbagi kisah bahagia hikmah dibalik wabah pandemi yang tengah berlangsung ini.

Saya yakin, banyak keluarga muslim di Jepang yang bersyukur dibalik musibah ini. Apalagi yang sudah memiliki buah hati di usia diatas 5 tahun yang bisa ikut belajar puasa. Tahun ini adalah Ramadhan spesial karena anak-anak muslim punya waktu khusus untuk menjalankan ibadah puasa karena sekolah diliburkan. Awalnya sekolah diliburkan atas instruksi Perdana Menteri sejak awal Maret guna mencegah penyebaran virus Covid 19 khususnya dikalangan anak sekolah, 2 pekan lebih awal dari jadwal pergantian tahun ajaran baru. 

Di Jepang, tahun ajaran baru memang berawal di bulan April, biasanya pekan pertama atau kedua. Setelah libur selama hampir 5 pekan lamanya, akhirnya anak-anak bersekolah dengan riang gembira. Hanya bertahan 1 pekan, muncul instruksi baru untuk melanjutkan libur selama 2 pekan. Anak-anak kecewa, bahkan upacara penerimaan siswa baru berlangsung dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dan hanya boleh dihadiri salah satu orang tua murid.

Di tengah waktu libur inilah, bulan Ramadhan mulia bertamu. Alhamdulillah dalam kondisi libur bisa mengkondisikan anak-anak saya yang berusia kelas 4 dan 2 SD untuk ikut berpuasa. Tahun ini Ramadhan juga di musim semi, diantara peralihan suhu udara sejuk dan mulai menghangat menuju panas. Akan tetapi saya sudah sampaikan, jika kalian masuk sekolah maka kalian boleh berpuasa setengah hari.

Saat waktu libur usai yang dinanti-nanti untuk masuk sekolah kembali, datang email pemberitahuan kalau hanya boleh orangtua yang datang ke sekolah untuk mengantar PR anaknya kepada guru kelas, lalu mengambil setumpuk tugas baru untuk dikerjakan kemudian. Ternyata libur dilanjutkan lagi bahkan sampai 1 bulan kemudian.

Alhamdulillah pikir saya, anak-anak bisa melanjutkan puasa selama sebulan penuh. Alhamdulillah tahun ini Ramadhan cukup kondusif, sehingga anak-anak mampu menyesuaikan dengan waktu berpuasa. Karena di Jepang sebagai negara 4 musim, cerita Ramadhan selalu berbeda setiap tahunnya.

Saya ingat 3 tahun yang lalu, Ramadhan jatuh di musim panas. Jangan tanya bagaimana panasnya musim panas disini, anginpun enggan berhembus meski di tepi pantai. Tak heran jika musim panas jadi waltu libur panjang anak-anak selama hampir 40 hari, karena suhu udara yang membuat ingin didalam rumah saja, dengan full AC tentunya.

Saat itu, subuh sebagai waktu mulainya berpuasa jatuh pukul 3 pagi bahkan kurang. Lalu berbuka puasa hampir pukul 8 malam. Waktu isya sekitar pukul setengah sepuluh, bayangkan jika harus memulai shalat tarawih lalu selesai sekitar 1 jam kemudian lalu tidur, hanya ada waktu sekitar 4 jam lebih untuk tidur dan sahur sebelum subuh menjelang.

Tahun ini di musim semi, waktu berpuasa tak jauh beda dibanding indonesia, meski masih selisih antara 1,5 jam lebih lama. Subuh di Ramadhan pertama adalah pukul 3.45 dan magrib jatuh pukul 18.45. Dalam kondisi libur, cukup untuk mempertahankan stamina anak-anak untuk tetap fit selama berpuasa seharian. Karena jika anak-anak tetap bersekolah, sangat sulit menjaga stamina dalam kondisi belajar-mengajar di Jepang. 

Pertama, berangkat dan pulang sekolah yang harus jalan kaki bersama teman-teman. Meski jarak yang ditempuh sekitar 1 kilometer dari apato (apartemen) ke sekolah, akan tetapi bawaan randoseru (ransel) plus isinya yang berkilo-kilo beratnya di pundak, suito (botol minum) minimal 500 ml, bento (bekal makan) ditenteng, dan dihari tertentu (senin dan jumat) harus membawa tas kelasnya yang berisi sikat gigi dan gelas kecil, apron makan, seragam olahraga, dan huwagutsu (sepatu ruangan). Jika hujan turun, maka satu tangan memegang payung dan satu tangan lainnya menenteng bawaan itu. Itu dilakukan pergi dan pulang sekolah.

Kedua, hampir setiap hari ada mata pelajaran taiso (olahraga). Olahraga favorit Jepang adalah lari. Apalagi menjelang undokai (festival olahraga tahunan) dibulan-bulan ini sering dilakukan latihan lari mengelilingi lapangan bola. Bukan sekedar sekali dua kali, bahkan ada anak yang sanggup 10 kali putaran. Jangan dibayangkan lelahnya, karena memang anak-anak sekolah Jepang menjalani sekolahnya dengan gembira dan bersemangat.

Ketiga, bisa jadi faktor psikologi. Ada jam makan siang yang tidak bisa dilewatkan setelah menjalani aktivitas yang penuh energi sejak pagi hari. Tentu berpuasa ditengah teman-teman lain makan siang menjadi pertanyaan dan ujian kesabaran yang sangat besar bagi si anak.

Keempat, jikapun anak bisa menjalani waktu berpuasa meski pulang jalan kaki sore hari hampir pukul 17.00, tetap saja energi sisa hari itu masih harus digunakan untuk mengerjakan syukudai (PR). Tidak ada hari tanpa PR di Jepang, bahkan tidak 1 2 buah saja dalam seharinya. Akhirnya, si anak yang berpuasa tidak bisa optimal dalam menjalankan ibadah lain seperti shalat, tilawah, tarawih ataupun sahur.

Setelah tinggal disini, saya sangat menyadari betapa lingkungan sangat mempengaruhi seorang anak. Apalagi sistem sekolah dan lingkungan yang mendukung. Misalnya, banyaknya teman yang bersama menjalankan ibadah puasa dan saling menyemangati satu sama lain. Selain itu, keberadaan masjid sebagai pusat ibadah, penentu waktu buka sahur dan shalat lima waktu, tempat melaksanakan pengajian dan lain sebagainya juga salah satu faktor yang harus disyukuri. Di Jepang, bahkan di kota-kota besar jumlah masjid masih satu-dua buah, apalagi di daerah pinggiran. Waktu shalat hanya ditandai berdasar aplikasi muslim yang didownload di playstore, juga menentukan arah kiblat saat melaksanakan shalat.

Terakhir, karena corona pemerintah Jepang memutuskan untuk memberi subsidi sebesar 100.000 yen (sekitar 14 juta rupiah per orang) dimulai pertengahan Mei ini penyebaran surat aplikasi ke rumah masing-masing. Salah satu hal yang disyukuri tinggal di Jepang adalah tidak adanya pembedaan antara warga negara asing dan warga Jepang sendiri. Jadi selama orang tersebut memiliki izin tinggal diatas 3 bulan, resident card (KTP) dan resident certificate (KK) maka berapapun usianya ia berhak mendapatkan subdisi tersebut. 

Cerita yang terakhir saya bagikan bukan bermaksud pamer atau tertawa diatas penderitaan saudara di tanah air, tapi sebaliknya jika kita sadar potensi yang dimiliki negara kita jauh lebih besar. Jepang tak punya emas, batu bara, minyak, gas bumi, rempah-rempah, dan segala kekayaan alam lainnya, tapi hanya sumber daya manusia yang menjadikan keterbatasan itu menjadi potensi lain yang memajukan negaranya. 

Sekali lagi, keterbatasan sekalipun adalah hikmah, jika kita mau melihatnya dari sisi positif dan berjuang dengannya untuk menjadikannya sebagai peluang yang memberdayakan. Corona memberi peluang kebaikan di sebagian belahan dunia, memunculkan sisi lain kemanusiaan, menunjukkan pemimpin yang mengedepankan rakyat dan keselamatan, sekaligus menampakkan kebenaran yang selama ini kasat mata oleh fatamorgana kemewahan.

Kagawa, 4 Mei 2020

Yenni Mulyati

Comments

Popular posts from this blog

Masjid Pertama Kagawa dalam Doa dan Cita

Niat Pulang Kampung - Part 1

Pendidikan Karakter Khas Jepang (Part 2)