Cara Sekolah Jepang Menggalang Dana

Dana merupakan unsur penting dalam pengembangan sebuah institusi pendidikan. Eh, bukan cuma satu institusi ini saja sih... bahkan setiap pribadi membutuhkan dana alias uang untuk aktualisasi diri atau sekedar menyambung hidupnya. Nah, sampe sekolah Jepang pun punya cara sendiri untuk menggalang dananya dari orang tua siswa, lho... Gimana ya kira-kira?

Alih-alih meminta sejumlah uang secara langsung kepada orang tua siswa, sekolah justru mengadakan charity bazaar yang diadakan setahun sekali. Satu bulan sebelumnya, pihak sekolah akan membagikan selebaran kepada setiap orang tua siswa mengenai kegiatan ini. Selain waktu dan tempat kegiatan, orang tua siswa juga diminta untuk memberikan barang bekas pakai mereka untuk di sumbangkan.

Syaratnya, barang baru atau masih sangat baik kondisinya. Jika tidak ada, maka boleh memberikan sabun, detergen dan semacamnya untuk kemudian dijual kembali dalam kegiatan tersebut dengan harga yang sangat murah sekali, minimal setengah atau sepertiga dari harga aslinya.
Kalaupun tidak mau berpartisipasi memberikan apapun, ya tidak masalah... namanya menyumbang masa dipaksakan.

Lalu setelah terkumpul, pihak sekolah akan memilah barang-barang tersebut dan mengelompokkannya, lalu memberikan harga sangat murah sekali. Rata-rata 50 yen atau 100 yen, beberapa 200-300 yen dan sebagian lagi diberi harga lebih tinggi sesuai harga dasar barang.

Yang paling banyak terkumpul biasanya adalah mainan. Hahaha...namanya anak-anak, siapa sih yang tidak suka bermain? Uniknya, berbagai jenis mainan di bendel jadi satu dan diberi harga 100an yen. Harga aslinya bisa 1000 yen karena didalamnya bukan sekedar mainan murahan, tergantung pintar-pintarnya pembeli memilih paket mainan diantara yang dijual disana.

Selain mainan, tentu saja ada pakaian, tas, helm, kaos kaki, sarung tangan, jaket dan apa saja yang memang masih baru atau seperti baru. Kelompok barang yang banyak lainnya adalah handuk atau sapu tangan (karena orang Jepang suka banget pake sapu tangan), juga koleksi piring dan gelas. Kalau di Indonesia mungkin semacam tupperware kali ya, hahaha...

Nah, di hari-H, saya datang 5 menit sebelum acara. Jadi agendanya 1 jam saja mulai pukul 14.50 sampai 15.50. Saya pikir sudah datang tepat waktu ya kan... ternyata antrian sudah panjang merayap. Pintu ruangan sih belum dibuka karena belum waktunya, tapi masuknya kan ngantri. Yah, gitu deh... namanya juga orang Jepang.

Ohya, di selebaran kegiatan juga diumumkan bahwa akan ada penjualan roti (apa namanya saya tidak mencatat). Tapi roti yg tersedia hanya 30 buah, jadi nanti pas masuk ruangan ya orang yang minat beli roti harus ngantri lagi. Wkwkwkwk...

Selain itu juga ada kelompok baju sekolah bekas pakai yang masih sangat baik kondisinya. Baik itu jaket sekolah, baju olahraga, baju putih, rok atau celana, topi sekolah, semua masih baik kondisinya dan dijual sangat murah. Tentu saja sangat membantu sekali untuk orang-orang yang tidak mampu membeli baju sekolah beberapa potong untuk ganti sehari-hari (karena bajunya itu-itu saja sejak jaman dahulu).

Flashback sedikit, ketika sekolah dulu seragam olahraga saya warnanya berbeda dengan adik angkatan. Entah apa maksudnya, tapi sepertinya trend gonta-ganti warna atau model tiap angkatan kelas di tiap-tiap sekolah sampai sekarang masih terjadi. Tahun ini oranye, tahun depan ganti biru, dan selanjutnya ungu. Mungkin maksudnya ingin membedakan antara warna tiap angkatan. Tapi akhirnya, baju bekas satu tahun itu tidak bisa diwariskan lagi dan terpaksa dibuang. Sayang kan...

Tapi, kualitas pakaian di Jepang memang patut di acungi jempol. Jahitan oke, bahannya juga oke. Jadi warna lusuh atau kumal itu tidak akan terjadi meski dipakai bertahun-tahun. Believe it or not, datang saja langsung kesini supaya bisa lihat langsung. Hehehe...

Kembali ke cerita, saat waktunya tiba terdengar pengumuman dari pengeras suara memberitahukan beberapa hal sekitar 2 menitan. Setelah itu, orang-orang yang mengantri dan masuk ruangan daaaan... walah, cepet-cepetan milih kaya orang Indonesia juga 😅 Rebutan sih ngga ya, tapi kalau sudah diambil orang pilih saja barang lainnya. Nah, saat seperti itu yg saya borong justru mainan...kapan lagi beli mainan murah banget buat anak 4, hehehe...

Di luar ruangan, ada juga sebuah meja besaaar yang diatasnya penuh dengan baju-baju bekas, sapu tangan, mainan dan beberapa barang lainnya yang bisa diambil gratis. Jadi memang yang dijual benar-benar yang like new saja. Yang tetap ingin menyumbang baju bekasnya, akhirnya disortir dibagian barang "silahkan ambil". Dan rata-rata tidak banyak orang yang mengambil meski gratis 😅

Sampe disini saja ya cerita di hari-H, yang jelas counter pembayaran ada beberapa baris yg sudah siap dengan kalkulator manual. Petugasnya ya para guru, dan ketika masuk 20 menit terakhir, barang murah itu akan didiskon lagi. Aseek... (apaan sih)

Inti ceritanya adalah hari ini, ketika anak saya memberikan selembar kertas dari sekolah sebagai ucapan terimakasih atas partisipasi di bazaar amal beberapa minggu yang lalu. Didalamnya juga terdapat laporan hasil dana yang terkumpul. Nilainya mungkin tidak banyak bagi orang Jepang (bagi saya sih cukup wow karena sama dengan 2 bulan beasiswa atau setara omset penjualan satu hari sebuah supermarket di Jepang), tapi saya belajar beberapa hal dari charity bazaar ini.

Entah kenapa, saya merasa terharu dengan apa yang saya alami disini. Sumbangan yang saya berikan (beberapa sapu tangan dan sabun) lebih sedikit dibanding manfaat dari barang yang saya beli disana (mainan, helm, tas anak). Saya bukan hanya diminta berpartisipasi memberi, tapi juga bisa mendapat manfaat timbal balik didalamnya.

Yuk, sekolah-sekolah di Indonesia pake cara ini buat reuse atau recycle barang layak pakai yang ada di rumah. Kecil nilainya bagi kita, bukan berarti kecil pula bagi orang tua siswa lainnya. Atau ada cara penggalangan dana lainnya yang lebih elegan, let`s think together.

Memang butuh lebih banyak kerja dan waktu dibanding sekedar meminta sejumlah dana dalam bentuk tunai, tapi ada nilai lebih yang ingin kita gali didalam penggalangan dana itu sendiri. Libatkan orangtua siswa, agar rasa memiliki terhadap sekolah dan empati terhadap orangtua siswa lainnya tumbuh dan semakin kuat.

Musim dingin awal tahun 2019,
Tahun baru semangat baru


Yenni Mulyati

Comments

Popular posts from this blog

Masjid Pertama Kagawa dalam Doa dan Cita

Niat Pulang Kampung - Part 1

Pendidikan Karakter Khas Jepang (Part 2)