Saat Semua Jalan Terasa Buntu, Harus Kemana?

Meski tertatih dan letih, teruslah mengayuh pedalmu

Sakura : Saat Semua Jalan Terasa Buntu, Harus Kemana? 

*Sekuel Buku 'Mencita Sakura'

Keberangkatan saya ke Negeri Sakura bukanlah mulus tanpa perjuangan. Saat suami telah diterima di Ehime University, Jepang dan menyusul berita kelulusan beasiswa LPDP beliau, waktu perpisahan itu pun semakin dekat. Saya sering menangis didepan suami jika membayangkan beban menyandang “single parent” dengan 3 anak kecil, apalagi kalau berandai-andai bagaimana jika saya tidak punya kesempatan menyusul beliau.
Posisi saya saat itu sedang dalam masa CASN (Calon Aparatur Sipil Negara) yang sangat riskan dan terbatas kemudahan peraturan dalam hal izin dan hak-hak lainnya. Masa prajabatan memang telah selesai dilalui dan tinggal menunggu SK peralihan ke status ASN. Akan tetapi kapan waktunya belum pasti, dan alasan apa yang mendasari saya bisa mengambil izin menyusul suami.
Saya mulai mencari beberapa kemungkinan untuk bisa mengajukan peluang izin. Pertama, PNS titipan. Tapi ternyata hal ini tidak mudah prosedurnya, ditambah satu-satunya instansi pemerintah Indonesia satu-satunya adalah Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Osaka. Jaraknya 3 jam perjalanan dari Kagawa Prefecture tempat studi suami, sehingga kemungkinan LDR tetap saja harus dijalani.
Kedua, adalah Cuti Luar Tanggungan Negara. Tapi ternyata butuh 5 tahun minimal masa kerja untuk dapat mengajukan jenis cuti ini. Akhirnya pilihan ketiga adalah Tugas Belajar. Memang dalam poin pertama peraturan tugas belajar disebutkan boleh diberikan minimal 1 tahun sejak ditetapkan menjadi ASN, akan tetapi poin kedua menyebutkan bahwa boleh mengambil tugas belajar ini sejak masa penetapan ASN, dengan syarat bidang yang diambil linier dan dibutuhkan oleh instansi yang bersangkutan.
Saya berpikir ini adalah satu-satunya peluang saya untuk berjuang agar bisa mendampingi suami. Karena suami telah menutup rapat-rapat sebuah pilihan lainnya yang sangat mudah dan tidak membutuhkan usaha apapun, yaitu melepas status ASN saya dengan ‘kabur’ begitu saja dari tugas negara. Beliau mengingatkan niat awal saya memilih pekerjaan ini, yaitu atas dorongan dan keinginan orangtua dan mertua. Dengan melepas status ini, dengan sendirinya menyakiti hati 4 orang sekaligus yang telah membesarkan, menyayangi, dan mendoakan kami sepenuh hati.
Upaya mencari jalan untuk dapat menyusul suami benar-benar perjuangan yang sangat melelahkan. Entah berapa kali saya mendatangi kantor Gubernur yang terletak di ketinggian bukit, dan pulang dengan harapan dan lagi-lagi harapan. Pernah saya mendatangi sebuah kantor lainnya dalam upaya mencari beasiswa, menunggu Kepala Bidang berjam-jam lamanya dan ketika waktunya tiba, apa yang saya temui sungguh diluar dugaan. Bukan saja menolak karena secara prosedur belum saatnya saya mengajukan, beliau juga mengatakan hal-hal yang (sebenarnya benar secara fakta) secara sensitif saya terima sebagai hal yang menyakitkan.
Beliau berpendapat kenapa memilih Jepang, karena tren tempat melanjutkan studi sekarang adalah Timur Tengah. Juga dengan perkataan lainnya, kenapa berharap beasiswa kecil dari kami sementara banyak peluang lainnya yang nilainya lebih besar. Saya hanya tersenyum mengangguk-angguk sambil menahan sesuatu yang bergejolak dalam dada. Sepulangnya dari kantor tersebut, sepanjang jalan saya mengendarai motor sambil menangis sejadi-jadinya ditengah deru usara motor. Ya Allah... dalam kesedihan saya berdoa agar diberikan peluang beasiswa yang lebih baik.
Benar usaha saya kebanyakan nihil, tapi saya selalu yakin tidak sia-sia. Silaturahim ke sini, datang ke kantor itu, bertanya segala hal yang memungkinkan langkah saya semakin dekat dengan suami. Semua usaha itu seperti potongan-potongan kecil puzzle yang akhirnya membentuk sebuah gambar yang saya harapkan.
Dalam masa perjuangan, penantian dan pengharapan yang menguras energi itu saya dipertemukan dengan orang-orang luar biasa. Allah sengaja hadirkan mereka untuk menguatkan saya. Saya mengikuti private class Pola Pertolongan Allah (PPA) yang didalamnya wawasan dan keimanan saya dicharge ulang. Hal yang paling menyadarkan saya adalah terkait riba yang membuat keberkahan hidup hilang. Bahwa betapa banyak orang yang terjebak dalam ‘cahaya semu’ duniawi dengan cara ribawi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan, sehingga menuhankan pekerjaan, harta, pasangan, dan sebagainya. Dalam komunitas PPA saya juga berkenalan dengan para pengusaha, yang mengajak saya bergabung dalam ta’lim Enterpreneur Muslimah.
Dalam komunitas baru tersebut, saya kemudian mendengar cerita perjalanan para pengusaha tersebut dalam menjalankan bisnisnya. Kebanyakan mereka terlilit hutang yang besarannya berkali-kali lipat ujian yang menimpa saya. Ada yang berurusan dengan belasan rentenir berkedok koperasi harian demi gali lobang tutup lobang hutang-hutangnya. Ada yang bertahun-tahun menyetor uang pembayaran kreditnya hingga ratusan juta rupiah, namun ketika ditanya berapa pokok hutangnya... ternyata hanya berkurang sepuluh juta saja. Yang menyakitkan adalah lembaga tersebut adalah lembaga keuangan syari’ah.
Bertemu mereka, saya merasa masalah saya belum ada apa-apanya. Mereka dengan ujian yang lebih besar, justru memiliki kesabaran yang jauh diatas saya. Lebih hebat lagi, ditengah himpitan masalah, mereka justru semakin menggiatkan sedekah. Satu hal yang membuat saya sangat terpacu untuk giat menambah besaran sedekah saya dibanding sebelumnya, sebagai salah satu cara untuk ‘merayu’ Allah agar memudahkan langkah saya menyusul suami.
Jika boleh saya bercerita disini (semoga tidak termasuk riya’, akan tetapi menjadi hikmah yang memotivasi pembaca untuk lebih giat bersedekah) , salah satu rangkaian sedekah saya dimulai saat akhir kelas PPA perdana hari itu. Seperti biasa, diakhir kegiatan peserta akan ditawari peluang ‘bisnis’ dengan Allah, yaitu berinfaq yang terbaik sebagai salah satu upaya nyata mengundang pertolongan Allah atas masalah-masalah yang dihadapi. Banyak diantara peserta yang berinfaq barang-barang diluar nalar logika, seperti kunci motor bahkan mobil, sertifikat tanah, emas bahkan cincin pernikahan.
Subhanallaah... semua hanya terkait pemahaman saja. Salah satu yang saya catat adalah perkataan trainernya yang menyebutkan bahwa “Akar kebersyukuran adalah ketika kita merasa tidak punya apa-apa”. Ya, tidak ada yang berhak berkata “ini rumah saya, mobil saya, anak-anak saya, harta saya, jabatan saya”. Semua yang kita miliki saat ini adalah titipan saja, yang suatu saat akan kembali diambil oleh Sang Pemilik. Entah ‘diambil’ dengan berbagai cara-Nya, atau kita meninggalkan itu semua saat ajal tiba.
Jika masih ada yang menganggap sesi akhir kegiatan tersebut semacam ‘pemanfaatan’, cobalah buka Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 92 berikut:
Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui
 Saat itu, saya tidak mempunyai uang lebih karena sudah disetor saat awal pendaftaran. Sisa uang hanya 50ribu rupiah, yang sudah saya siapkan saat kotak infaq diedarkan. Tapi ada satu benda yang saat itu saya pertimbangkan untuk ikut disedekahkan atau tidak, sebuah jam tangan yang sangat saya sayangi.
Jam itu adalah hadiah pemberian suami, jam mahal pertama kalinya yang pernah saya miliki seumur hidup. Sebuah jam bermerk dari Jepang, yang sengaja dibeli sepasang dengan milik suami, untuk saling mengingatkan. Setiap kali melihat jam itu saya ingat suami, dan karena letaknya di pergelangan tangan maka saya selalu merasa dekat dengan beliau.
Jam itu saya lepas perlahan, tapi masih saya genggam erat-erat. Sementara kotak infaq masih beredar ke peserta lainnya (saya duduk di bagian belakang), dan hati saya berontak. ‘Jangan… ini kan hadiah, dan belum izin ke beliau untuk disedekahkan’, hati kecil saya menimbang-nimbang. ‘Bagaimana kalau beliau marah setelah tahu? Jam ini kan yang mengingatkan agar selalu merasa dekat dengan beliau?’ dan berbagai pertimbangan lainnya yang saling berperang. Akhirnya Bismillah, saya mantapkan hati untuk menyedekahkannya. Saya berdoa khusyu’, “Ya Allah… benda ini memang membuat hamba selalu merasa dekat dengan suami, tapi hamba bukan ingin dekat dengan benda ini, tapi dengan pemberinya. Ya Allah… mudahkanlah langkah hamba agar bisa dekat dengan beliau”. Setelah itu airmata saya jatuh, sambil perlahan tangan saya memasukkan jam tersebut ke kotak yang diulurkan panitia.
Anehnya, saat saya bercerita pengalaman itu kepada suami, beliau tidak marah sama sekali. Beliau mengikhlaskan dan bilang, “tidak apa-apa, nanti Kakak belikan lagi disini”. Beliau juga memang yang awalnya mendorong saya untuk tetap ikut meski uang ditangan pas-pasan. “Nanti akan Kakak kirim lagi, berangkat saja”, kata beliau pagi itu saat saya ogah-ogahan untuk pergi ke acara.
Allah memang Maha Baik, tak lama setelah itu anak pertama saya Raisa yang berusia 6,5 tahun mengikuti kelas PPA Kids perdana, dan juga saat diminta panitia menuliskan cita-cita yang menjadi do’anya kepada Allah, 2 diantaranya adalah tentang Jepang. Tulisnya:


Tulisan Raisa saat ikut kelas PPA Gorontalo, tahun 2017

Ya Allah, mudahkanlah saya bisa sampai di Jepang ya Allah
Ya Allah, berikanlah rezeki untukku agar bisa pergi ke Jepang ya Allah
Entah doa mana yang dikabulkan oleh Allah, tapi saya selalu yakin bahwa do’a dan ikhtiar iman maksimal yang kami lakukan bersama saling berpadu mengetuk pintu langit. Dan saat Allah ridho, maka cukup dengan “Kun....” lalu “...fayakun”. Jadi, maka jadilah. 1 Januari SK 100% itu keluar, 7 Maret SK Tugas Belajar saya dikabulkan. Alhamdulillaah....
Saat semua jalan terasa buntu dan kita tidak tahu harus kemana, maka pergilah ke jalan Allah. Ingatlah bahwa Allah selalu dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita sendiri. Dan pertolongannya, pun amatlah dekat. Hanya bagaimana cara merayunya agar segera memeberikan pertolongan itu saja yang perlu kita lakukan. Karena sebagai manusia, bisa jadi maksiat menutupi kejernihan hati dan silau duniawi menutup mata hati akan siapa ‘Tuhan’ sejati.
Karena banyak yang menuhankan hal-hal duniawi secara tidak sadar dalam waktu berkepanjangan, sehingga mengundang masalah beruntun yang Allah hadirkan sebagai ujian (atau azab) dari hasil perbuatan kita sendiri. Karena sejatinya sebagaimana filosofi harta, pun demikian dengan masalah. Semua adalah titipan dan ujian, untuk mengetahui diantara kita yang paling baik amalnya.
Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2).

Comments

Popular posts from this blog

Masjid Pertama Kagawa dalam Doa dan Cita

Kehamilan Trimester Pertama di Jepang (3)

Study from Home Ala Anak SD Jepang