Pendidikan Karakter Khas Jepang (Part 3)
Sakura え: Pendidikan Karakter Khas Jepang
*Sekuel Buku 'Mencita Sakura'
Pola Makan Sehat dan Teratur
Setiap Elementary
School di Jepang memiliki dapur khusus memasak menu makan siang siswanya.
Bahkan untuk tingkat Nursery School
sekalipun, kebanyakan sekolah mempunyai dapur sekolah. Dengan demikian, menu
makan siang yang disantap adalah seragam. Siswa tidak bisa memilih jenis menu
kesukaannya, karena setiap harinya dalam sebulan menu telah terjadwal sesuai
dengan kadar perhitungan konsultan gizi sekolah.
Sebagian besar siswa di Jepang memakai jasa dapur sekolah
ini, hanya hitungan jari siswa yang membawa bento/弁当/bekal makanan dari rumah, salah
satunya anak saya karena pertimbangan kehalalan bahan yang digunakan. Demikian
juga dengan oyatsu/おやつ/snack/kudapan, karena sudah termasuk satu paket
keseluruhan menu. Yang terpisah adalah susu/gyuunyu/牛乳, dimana anak-anak saya ikut menikmati sajian
susu segar yang disediakan dari sekolah setiap hari.
Kantin
sekolah ini, sehari-harinya menyiapkan makan siang untuk hampir seluruh warga
sekolah. Menu selama 1 bulan sudah diberitahukan di akhir bulan sebelumnya.
Pihak sekolah mempunyai catatan alergi makanan setiap siswa, dan menjadi tanggungjawab
orangtua juga untuk memperhatikan menu harian sekolah ketika anaknya mempunyai
alergi. Makanan dimasak beberapa jam sebelum waktu makan siang, sehingga ketika
dijemput oleh tim piket dari setiap kelas, makan siang masih dalam kondisi
hangat dan segar untuk disantap.
Di sekolah-sekolah Jepang, tidak terdapat kantin sekolah yang
menjual makanan atau jajanan sehingga anak bisa berbelanja. Demikian juga
dengan air minum, semua anak harus membawa botol minum dari rumah
masing-masing. Meskipun vending machine/jidou hanbaiki/自動販売機 atau mesin penjual otomatis berisi aneka minuman botol atau
kaleng (dalam kondisi dingin dan hangat) banyak tersedia dibanyak tempat, tapi
jarak beberapa puluh meter dari lokasi sekolah mesin ini tidak disediakan.
Komunikasi Baik Antara Orang Tua Siswa dan Pihak Sekolah
Selain disediakan buku penghubung/renraku/れんらく sebagai alat komunikasi antara guru dan orangtua dirumah, orangtua
dapat menghubungi guru kelas jika ada hal yang perlu ditanyakan. Pihak sekolah
juga menyediakan waktu khusus konsultasi secara berkala bagi orangtua yang
ingin berkonsultasi terkait perkembangan/permasalahan anaknya, dengan
didampingi oleh konsultan yang disediakan pihak sekolah. Sebelum waktu
konsultasi, setiap orangtua akan diberikan form khusus apakah akan mendaftar
untuk konsultasi tersebut atau tidak, waktu yang diajukan oleh orangtua, dan
hal apa yang ingin dikonsultasikan. Setelah itu, jadwal konsultasi akan
disampaikan kepada masing-masing orangtua.
Apabila anak sakit, maka
orangtua tidak perlu menulis surat untuk mengabarkan kondisi anaknya. Cukup
dengan menelpon pihak sekolah dijam khusus (biasanya 15 menit sebelum pukul
8.00 sekolah dimulai), bahwa hari itu si anak tidak masuk sekolah karena sakit.
Apabila hanya beristirahat saja tanpa memeriksakan diri ke dokter, maka harus
disampaikan juga. Saat si anak yang sakit datang menemui dokter di Rumah Sakit,
dokter akan bertanya dimana si anak bersekolah. Rekapitulasi informasi siswa
sakit yang mengunjungi dokter hari itu akan disampaikan pihak Rumah Sakit
kepada sekolah yang bersangkutan (Nursery/Kindergarten/Elementary
School). Dengan sendirinya, setiap pribadi tidak butuh surat keterangan
sakit dari dokter untuk disampaikan ke pihak sekolah.
Keterampilan Terasah Baik Sesuai Bakat dan Minat
Di Jepang, terdapat banyak sekali sarana yang mengasah bakat
minat anak, baik disediakan oleh sekolah ataupun pihak swasta, seperti menari
balet, kendo, beladiri aikedo, olahraga dan lain sebagainya. Renang dan musik
adalah salah satu keterampilan dasar yang diajarkan kepada setiap siswa sejak Kindergarten. Pianika adalah alat musik
wajib bagi setiap siswa, sejak usia Kindergarten.
Di Elementary School, dengan jadwal rutin musik tiap
pekannya, siswa akan belajar beberapa jenis instrumen musik yang disukainya dan
berlatih hingga terampil. Dalam hubungannya dengan perkembangan syaraf motorik
dan kecerdasan anak, musik atau seni memang telah diakui mempunyai peran dalam
meningkatkan dan menyeimbangkan fungsi otak kanan dan kiri secara lebih baik.
Sakura お: Jangan Lupa, Pendidikan di Rumah Paling Utama
Saat tinggal di Jepang, pada beberapa kesempatan akan ditemui
beberapa orang Indonesia lainnya di sekitar, baik itu rekan sesama mahasiswa,
pelajar atau pekerja. Sebagaimana kata pepatah bahwa “dunia tak selebar daun kelor”, kadang setelah bertanya asal daerah
ditanah air - atau kerabat, atau menanyakan teman yang pernah dikenal
sebelumnya - ternyata ada kesamaan latar belakang atau mempunyai teman yang
sama-sama dikenal saat di Indonesia. Beberapa diantara mereka bahkan menikah
dengan wanita/pria Jepang, dan telah mendapat status Permanent Resident (Penduduk Tetap).
Salah seorang teman bercerita tentang kehidupannya selama
belasan tahun di Negeri Sakura. Hadir di acara buka puasa bersama di bulan
Ramadhan, beliau mengajak serta istrinya yang merupakan Warga Negara Jepang
yang muallaf. Anak mereka telah SMP, seorang putri yang usianya menginjak
remaja.
Beliau berpendapat bahwa sebagai seorang muslim yang hidup
menetap di Jepang, sangat sulit baginya untuk memberikan pendidikan agama untuk
anak istrinya. Ditengah kesibukannya bekerja mencari nafkah, tuntutan untuk
mengenalkan Islam secara menyeluruh kepada keluarganya semakin hari semakin
besar. Contohnya pelajaran mengaji Al-Qur’an yang tidak sempat diberikan kepada
anak istrinya karena faktor kesibukan. Sementara untuk mencarikan guru mengaji
di wilayah sekitar, ibarat mencari jarum ditengah tumpukan jerami.
Sementara itu, beliau mengkhawatirkan anak gadisnya yang
mulai beranjak remaja dan memasuki masa pubertas. Menurutnya, anak-anak SMP
Jepang pada umumnya sudah diperbolehkan oleh orangtuanya belajar bersama di
kamar (meskipun lawan jenis, salah satu dari keduanya datang kerumah temannya),
tanpa pengawasan dari siapapun. Berdua saja entah belajar atau kegiatan apa
lagi yang dilakukan, orangtua sudah memberikan kebebasan. Maka beliau sangat
mewanti-wanti istrinya untuk menjaga pergaulan anak perempuannya, jangan sampai
menerapkan standar yang sama seperti remaja Jepang pada umumnya.
“Tidaklah sekali-kali
seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali setan akan menjadi
yang ketiga.” (HR Tirmidzi, Ahmad, dan dishahihkan al-Albani)
Sejak saat itu, saya mengambil kesimpulan (sendiri) dalam pikiran saya. Bahwa pendidikan karakter bagi
anak-anak usia dini sangat baik dan terbukti berhasil, tapi maksimal hanya
sampai lulus Elementary School.
Selain pension/tunjangan yang tidak
lagi dibayarkan pemerintah Jepang kepada anak-anak diatas usia 13 tahun,
pertimbangan lainnya adalah kisah diatas. Kebutuhan pemahaman agama bagi
anak-anak yang mulai masuk masa remaja, yang akan sangat sulit sekali jika
hanya mengandalkan orangtua dirumah tanpa keselarasan pemahaman yang didapat
anak dirumah keduanya, yakni lingkungan sekolah.
Oleh sebab itu saya
selalu menolak usulan suami jika beliau ingin mengambil post-doctoral di Jepang (lagi), atau mengusulkan saya untuk
melanjutkan studi doktoral dengan akses yang sudah dimiliki di Jepang. Saya
jadi punya impian baru dengan kondisi yang ada di negara ini. Saya katakan
kepada beliau, “InsyaAllah saya akan
melanjutkan S3 di negara yang punya 1000 masjid, negeri Timur Tengah!”
Ya, saya ingin menebus
bertahun-tahun kehidupan di negara ini dengan sesuatu yang tidak dimilikinya.
Dengan segala keistimewaan yang dimiliki negara Jepang, kepercayaan
masyarakatnya adalah hal unik lainnya untuk dibahas. Dengan kepercayaan Shinto (yang artinya ‘jalan para dewa’,
sebuah filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai
warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup), sebagian masyarakat Jepang menganut atheis dan sebagian kecil
diantaranya mengikuti ajaran agama tertentu seperti Kristen, Islam, Hindu,
Budha, dan lain sebagainya.
Di Jepang terdapat ratusan ribu kuil dengan ciri khas
pintu gerbang berwarna jingga yang bisa didatangi atau dimasuki oleh siapa saja
dengan bebas. Berdoa adalah bebas, bisa ditujukan kepada siapa dan apa saja,
bisa pada Tuhan, kepada keluarga, sahabat, atau untuk diri sendiri seperti
kesuksesan, lulus ujian, kesehatan, dan lain-lain.
Konsep dari kuil ini adalah bebas dari ikatan agama.
Siapapun bisa datang dan berkunjung, baik untuk berdoa ataupun tidak.
Pengunjung tidak akan ditanya, dihentikan atau dilarang masuk karena alasan
beda agama. Konsep pendirian kuil (shrine) berbeda dengan konsep pendirian tempat ibadah versi agama.
Kuil didirikan tidak semata-mata untuk berdoa tapi juga menunjukkan rasa hormat
dan kecintaannya pada apa yang dipuja atau dikagumi, bisa Tuhan atau
keindahan alam. Shinto sendiri
artinya Jalan Tuhan, yang artinya banyak jalan menuju Tuhan, dimanapun dan
kemanapun pergi pasti ada Tuhan.
Maka tak heran jika
dibalik kesuksesan negara maju satu ini, sering terdengar berita terkait
kerapuhan ruhaniyah masyarakatnya seperti tingginya angka bunuh diri karena
stres pekerjaan atau tekanan hidup, bullying
senior kepada juniornya, seks bebas, dan lain sebagainya. Ber-Tuhan tapi tidak
beragama, kepercayaan Shinto sendiri
berakar dari kepercayaan animisme, ajaran yang memuja alam
dan mengenal banyak Tuhan atau polytheism.
Sementara keunggulan ajaran Shinto adalah toleransi dan kemampuannya
untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Kedatangan agama asing yang
notabene lebih modern sama sekali tidak dianggap sebagai saingan apalagi musuh
tapi diterima apa adanya tanpa harus membuang agama asli leluhurnya. Anak-anak
di negara tersebut tidak dibesarkan dengan dogma dan ajaran agama (agama
dilarang diajarkan di sekolah umum), tapi dibesarkan dengan ajaran etika dan
sopan santun.
Oleh karena itu, saat
membawa anak-anak ke negeri sakura dan berada di daerah yang jumlah saudara
muslim dari Indonesia relatif sedikit (seperti prefektur Kagawa tempat tinggal
keluarga kami), pendidikan dirumah adalah satu-satunya ujung tombak pendidikan
anak khususnya dibidang agama. Orangtua yang abai akan hal ini akan kembali ke
tanah air dalam kondisi anak yang standar keilmuan agamanya jauh dibawah
teman-teman seusianya. Misalnya dalam mengajarkan huruf hijaiyah sebagai dasar
ilmu membaca Al-Qur’an, belum lagi hafalan Al-Qur’an atau hadist, sejarah Islam
dan semacamnya.
Contoh lainnya adalah
kemampuan anak membaca huruf Romaji
(alfabet ABCD). Di Jepang, huruf Hiragana
diajarkan di semester 1 Elementary School, dilanjutkan dengan huruf Katakana dan Kanji di semester 2. Membaca huruf Romaji baru diajarkan di kelas 3, sehingga anak yang tidak mendapat
pengajaran khusus terkait membaca ABCD khususnya dalam Bahasa Indonesia, akan
sulit mengikuti kelas di SD Indonesia saat pindah dari kelas 1 atau 2 Elementary School Jepang.
Disisi lain, untuk
mengajarkan anak-anak pelajaran diatas yang diluar materi sekolahnya, biasanya
orangtua akan mengalami kesulitan dalam hal waktu si anak. Dengan kondisi anak
yang pergi pukul 7 pagi dan pulang sore hari dengan berjalan kaki, si anak tiba
dirumah dalam kondisi Lelah. Dilanjutkan sedikit istirahat lalu mengerjakan syukudai yang ditugaskan sekolah setiap
harinya, sangat sedikit kesempatan untuk belajar dari energi anak yang tersisa.
Alhasil, untuk mengajak anak shalat berjamaah dilanjutkan membaca Al-Qur’an
butuh kesabaran khusus dari orangtua. Ini adalah salah satu tantangan bagi
orangtua dalam hal menjadikan rumah sebagai sekolah pertama bagi pendidikan
keagamaan anak-anaknya selama tinggal di negeri sakura.

Comments
Post a Comment