Pendidikan Karakter Khas Jepang (Part 2)

Sakura : Pendidikan Karakter Khas Jepang

*Sekuel Buku 'Mencita Sakura'
 Disiplin
Sejak Nursery School/Kindergarten, anak telah diajarkan konsep kepemilikan barang dan belajar mengatur semua barang-barangnya sendiri. Sudah menjadi aturan dasar bahwa semua barang milik pribadi sekecil apapun harus diberi label nama si anak. Dan setiap set barang-barang perlengkapan sekolah mempunyai tempat penyimpanannya masing-masing di rak-rak yang telah ditentukan.
Setiap barang mempunyai tas penyimpanan masing-masing. Misalnya sepatu, ada tas khusus, set sikat gigi dan gelasnya dimasukkan dalam tas khusus, pakaian ganti/olahraga juga dalam tas khusus, apron makan dan setnya dalam tas khusus pula. Semua tas-tas tersebut akan masuk dalam satu tas yang lebih besar untuk dibawa ke sekolah.
Di sekolah, setiap barang mempunyai tempat penyimpanan masing-masing pula. Ada tempat khusus untuk sepatu, sikat gigi, apron makan, pakaian ganti, pakaian olahraga, dan lain-lain yang masing-masing telah ditandai nama masing-masing anak. Setiap anak bertugas menaruh dan mengatur sendiri barang-barangnya ditempat yang telah disediakan. Bahkan sejak masih Kindergarten usia dini pun, anak telah diajarkan mandiri sesuai tingkat usia dan akan terus dikembangkan seiring tumbuh kembang anak.
Selain itu, anak juga diajarkan keteraturan waktu. Waktu makan hanya di jam makan siang saja (sekitar pukul 11.30), selebihnya hanya minum air yang dibawa dalam botol dari rumah masing-masing. Tidak ada jam makan snack di waktu istirahat karena sekolah tidak menjual makanan. Yang ada hanyalah dapur sekolah, tempat memasak dan mempersiapkan makanan siang siswa. Jadwal masak adalah mendekati jadwal makan siang, sehingga makan siang yang diterima siswa dalam kondisi masih panas atau hangat.
Selesai makan, anak-anak Jepang dibiasakan sikat gigi, meskipun kebanyakan tanpa pasta gigi. Anak-anak mengisi gelasnya dengan air, dan menyikat gigi dengan mencelupkan sikatnya kedalam air dalam gelas. Tapi terkadang ada jadwal khusus dimana anak diberikan obat kumur dan diajari bagaimana cara berkumur yang baik. Secara berkala, dokter gigi dan pasukannya didatangkan ke sekolah untuk pembelajaran sikat gigi didampingi oleh orangtua. Kegiatan ini terdapat di kurikulum Elementary School maupun Kindergarten.
Selain diajarkan urutan pekerjaan dalam jadwal yang teratur dikeseharian proses pembelajaran, mengantri juga salah satu ciri khas yang diajarkan. Sejak Kindergarten, siswa secara rutin mempunyai jadwal berjalan kaki di jalan raya dengan pendampingan guru. Setiap siswa akan membawa bendera kecil kuning dengan gambar (induk bebek dan anak-anaknya yang berjalan beriringan), lalu berjalan teratur dan belajar menyeberang jalan. “Migi mite, hidari mite, daijoubu!” (lihatlah ke kanan, lihatlah ke kiri, tidak apa-apa/aman) adalah kalimat yang dihafal siswa Kindergarten. Saat Elementary School, pelajaran rutin ini akan diimplementasikan saat berjalan kaki bersama dengan teman-temannya ke sekolah (khususnya pagi hari) dengan pendampingan dari ketua grup dan petugas piket (guru/orangtua) dijalan menuju ke sekolah.
Bahkan dalam interaksi sesama teman, Raisa mendapat pelajaran-pelajaran khusus mengenai urutan pekerjaan yang baik. Misalnya, ia menuturkan bahwa di jam pelajaran olahraga saat harus berganti pakaian, teman-teman mengajarinya cara membuka pakaian yang baik dan melipat khusus, sehingga saat digunakan kembali dapat dilakukan dengan cepat dan tetap dalam keadaan rapi.
 Cinta Membaca
Sejak mulai masuk Kindergarten, siswa telah ditanamkan “belajar mencintai membaca buku” dengan dipinjamkan buku-buku bacaan bergambar setiap hari Jum’at untuk dibaca diakhir pekan, yang akan dibawa kembali lagi ke sekolah pada hari Senin. Setiap bulan, ada pemberian buku cerita bergambar dari sekolah untuk masing-masing siswa secara gratis. Dengan sendirinya, siswa mempunyai koleksi buku bacaan dari pemberian sekolahnya.
Berbicara kualitas buku-buku Jepang, tentu saja patut diacungi jempol. Kebanyakan sampul buku adalah hard cover dengan mutu kertas yang tebal. Beberapa buku yang dimiliki sekolah bahkan jenis pop-up (buku yang ketika dibuka akan menampilkan bentuk 3 dimensi atau timbul), puzzle (menyusun potongan gambar), atau lift the flap (buku yang bisa di buka/tutup karena disusun dengan menumpuk bagian kertas) yang sangat menarik untuk dibuka berkali-kali oleh anak-anak meski hanya terdiri dari beberapa halaman saja. Hampir semua buku anak-anak bergambar menarik, apalagi jenis buku pengetahuan alam yang menampilkan cerita tumbuhan atau binatang pasti terdapat foto asli dengan kualitas gambar yang sangat baik. Keunggulan ini saja sudah menjadi daya tarik khusus bagi anak-anak untuk menumbuhkan kecintaan terhadap buku.
 Kebiasaan membawa buku setiap akhir pekan juga berlanjut hingga Elementary School. Diawal semester, siswa kelas 1 membawa buku diakhir pekan saja, dan dikembalikan pada hari Senin. Lambat laun, seminggu dua kali siswa dipersilahkan membawa buku yang disukainya per 2-3 hari. Di semester berikutnya, hampir setiap hari siswa bisa membawa buku bacaan yang berbeda setiap harinya jika telah selesai dibaca.
Setiap bulan, ada pekan membaca yang dievaluasi dalam lembar khusus. Isian yang dinilai adalah judul buku, isi, lama membaca, dan ditemani oleh siapa proses membaca tersebut. Diakhir lembaran terdapat kesan anak terhadap kegiatan membaca yang telah dilakukan, dan juga kesan dari orangtua/orang yang telah menemani proses membaca tadi. Seluruh lembaran akan dikumpulkan dalam satu file oleh guru kelas, sehingga akan menjadi semacam portofolio untuk dokumentasi kegiatan membaca si anak.
Maka tak heran, jika di angkutan umum seperti kereta akan sering didapati kegiatan membaca oleh para penumpangnya. Jika siswa/mahasiswa biasanya akan membaca buku-buku sekolah/kuliahnya, sementara orang awam biasanya akan membaca buku-buku ukuran sedang atau rata-rata kecil yang mudah dibawa untuk dibaca dimana saja.
 Peka Lingkungan Hidup
Hal menarik lainnya dari pembelajaran di sekolah Jepang adalah menanam pohon. Saat masuk Kindergarten, guru akan meminta orangtua membawa pot tanaman dengan ukuran seragam (cukup besar) dan diisi dengan tanah. Pot dan tanah dapat dibeli di toko khusus yang menjual perlengkapan tanam-menanam. Setelah dibawa ke sekolah, guru akan memberikan beberapa benih tanaman yang berbeda (seperti tomat, paprika, mentimun, dan okra) kepada setiap siswa. Siswa akan menulis namanya masing-masing dan menggambar buah/sayur yang ditanam lalu diletakkan di pot masing-masing.
Tugas masing-masing siswa setiap harinya adalah menyirami tanaman masing-masing. Alat menyiram plastik tersedia beberapa buah didekat kran air di halaman sekolah. Biasanya proses menyiram dilakukan pagi hari ketika siswa datang ke sekolah atau menjelang pulang sekolah. Beberapa tanaman ada yang tumbuh kurang baik karena kurang disiram atau justru karena kebanyakan disiram oleh anak-anak. Ketika tanaman sudah menghasilkan buah, maka buahnya akan dipetik dan dibawa pulang oleh siswa kerumah masing-masing.
Beberapa pekan setelah berbuah, orangtua diminta untuk membawa pot beserta tanaman tersebut kerumah. Beberapa bulan kemudian di semester berikutnya, guru akan meminta pot tanaman untuk dibawa kembali ke sekolah. Biasanya dengan permintaan untuk membawa jenis benih tanaman tertentu sesuai kondisi musim gugur dan dingin seperti tulip dan bunga sejenis, yang banyak dijual di toko/supermarket di Jepang.
Selain itu, disudut belakang sekolah disamping area bermain juga terdapat kebun kecil berisi beberapa jenis tanaman. Siswa akan dengan sukarela menyirami tanaman-tanaman itu bergantian saat melihat temannya melakukan hal yang sama, selain ada petugas khusus yang merawatnya. Setiap beberapa bulan sekali siswa akan diajak ke perkebunan dengan menggunakan bis sekolah, untuk memanen kentang, ketela, strawberry, atau belajar menanam padi. Sepulang sekolah masing-masing anak akan mendapat sekantong hasil panen kegiatan hari tersebut untuk dibawa pulang kerumah.
Saat masuk Elementary School, siswa akan menanam jenis tanaman tertentu (seperti bunga terompet/あさがお/asagao/morning glory) untuk dirawat dan diamati proses pertumbuhannya. Saat libur musim panas, tanaman akan dibawa pulang kerumah masing-masing dan menjadi tugas liburan musim panas untuk merawat dan mencatat pertumbuhannya. Biasanya diwaktu tersebut bunga telah menghasilkan biji, mengering kemudian layu.
Di semester baru, siswa akan menanam jenis tanaman baru sesuai musim dan akan terus berlanjut di setiap level kelas. Dilevel kelas tertentu siswa akan diajak langsung menanam padi disawah dengan sepatu boot masing-masing, untuk merasakan pengalaman langsung bercocok tanam. Tak heran jika dirumah-rumah masyarakat Jepang kebanyakan memiliki pohon dan kumpulan tanaman/bunga-bunga karena kecintaan terhadap tanaman telah ditanamkan sedari dini.
 Semua Anak Bisa Pintar
Yang paling tampak sekali dari sistem pendidikan Jepang adalah mengedepankan usaha sungguh-sungguh dari siswa didiknya. Dengan penugasan yang diberikan setiap harinya - yakni mengulang pelajaran membaca atau kartu berhitung sebanyak 3 kali dan mengerjakan Syukudai – mereka meyakini bahwa kecerdasan dapat diraih dengan usaha gigih yang berulang-ulang.
Ibarat pisau tumpul yang akan menjadi tajam dengan diasah terus-menerus, ternyata demikian para guru meyakini proses pembelajaran berlangsung untuk mencapai tujuan. Dengan didukung seperangkat perlengkapan matematika yang wajib dimiliki setiap siswa kelas 1 SD, pelajaran Matematika tampaknya dibuat begitu aplikatif dan menyenangkan.
Yang membuat saya kaget adalah batangan plastik berwarna hijau, merah, kuning, dan biru yang masing-masing jumlahnya puluhan batang. Itu persis dengan lidi-lidi dari helai daun kelapa yang wajib saya dan teman-teman SD miliki dahulu. Dengan alat sederhana itulah kami belajar menghitung hingga bilangan ratusan. Maka jika negara Jepang sampai sekarang masih menggunakan cara sederhana itu dalam proses pembelajaran hitung-menghitung, sungguh menjadi hal yang mengejutkan untuk saya pribadi.
Justru alat hitung manual seperti abacus/cipoa/deka-deka - (ragam macam penyebutan di seluruh Indonesia, yang banyak dijual di toko alat tulis) berbentuk persegi yang terdiri dari 10 baris dan tiap barisnya berisi butiran berjumlah 10 buah, dan memiliki warnanya berbeda di setiap barisnya – tidak terdapat dalam perangkat matematika siswa Jepang. Adapun perlengkapan matematika yang disediakan antara lain jam (dapat diputar manual untuk pelajaran menghitung waktu), berbagai bentuk bangun ruang, kartu berhitung, semacam permainan dadu dan ular tangga, uang tiruan yang ukurannya serupa dengan aslinya (kertas dan plastik), dan beberapa peralatan lainnya.
Kenapa saya katakan bahwa semua anak bisa pintar? Karena anak pertama saya adalah contohnya. Dengan kemampuan Bahasa Jepang yang dimulai dari nol, anak saya belajar mengejar ketertinggalannya dari teman-teman sekelasnya. Dalam waktu 1 semester saja, hasil laporan perkembangan belajarnya menunjukkan hasil yang sangat baik. Untuk Bahasa Nasional (Kokugo), ia sudah menguasai tulisan hiragana dan katakana dan mampu membaca dengan lancar, dan semester 2 sudah mempelajari huruf kanji dan cara menulisnya.
Sementara kemampuan matematikanya terasah dengan mengulang minimal 3 kali setiap harinya mengucapkan kartu berhitung. Bagaimana guru mengevaluasi kemampuan berhitung anak? Ujiannya sederhana, hanya mengerjakan 50 soal berhitung dalam 5 menit. Awalnya nilai Raisa tidak sampai 50% karena durasi mengerjakan soal yang masih lambat, tapi seiring berjalannya waktu ia mampu menyelesaikan semua soal dalam waktu yang ditetapkan, dengan tingkat kesalahan yang semakin berkurang dalam tes-tes yang dilaluinya.
Memang benar pepatah yang mengatakan bahwa “practice makes right, repetitions make perfect” (praktek membuat kita benar, pengulangan membuat kita sempurna). Sampai semester 2 tahun pertama Elementary School, pelajaran Matematika hanya seputar penjumlahan dan pengurangan antara rentang 1-20. Setelah libur musim dingin selesai, barulah siswa masuk ke rentang logika nilai puluhan dan ratusan. Dengan berbagai macam soal dan penyelesaiannya, anak dibuat benar-benar paham dan hafal konsep dasar berhitung ini.

 Mandiri dan tangguh
Berbeda dengan anak sekolah di tanah air yang sebagian besar berangkat ke sekolah diantar orangtua, siswa di Jepang berangkat sekolah dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Dalam proses tersebut sehari-harinya, mereka membawa sendiri semua barang-barang pribadi mereka. Selain tas sekolah, botol air minum dan bento (bagi yang tidak ikut menu makan siang sekolah), ragam barang kebutuhan selama 1 pekan di sekolah dibawa setiap Senin pagi dan dibawa pulang kembali Jumat sore. Belum lagi syukudai/PR yang senantiasa ditugaskan dari sekolah, membuat siswa terbiasa mengerjakan tantangan dan kesulitan setiap waktu.
Tak heran jika masyarakat Jepang adalah orang-orang yang sangat mandiri dalam mengerjakan segala pekerjaannya sendiri. Akan banyak dijumpai dikeseharian, para lansia yang masih menyetir mobil sendiri, berjalan kaki atau bersepeda untuk berbelanja, bekerja diperusahaan bento/supermarket, mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan semacamnya. Didikan untuk mandiri sejak usia dini adalah salah satu faktor yang membentuk karakter hidup masyarakat Jepang yang tidak suka bergantung pada orang lain.
 Tidak Ada Istilah Tinggal Kelas
Siswa di Jepang mempunyai ujian yang diberikan secara berkala untuk mendapat penilaian berupa angka dari guru kelas, tapi tidak menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai acuan untuk naik kelas atau tinggal kelas. Dalam laporan hasil belajar terdapat nilai A, B, C, atau D dengan deskripsi penilaian masing-masing pembelajaran dan karakter yang ingin dicapai, bukan dalam bentuk angka. Selain itu, aspek jasmani akan mencatat berat dan tinggi badan siswa dan hasil pengukuran ketangkasan dari aktifitas fisik seperti melempar bola dengan jarak tertentu, lari, kemampuan skipping, dan sebagainya.
Menjelang waktu kenaikan kelas (biasanya setelah liburan musim dingin di antara akhir Desember - awal Januari), anak-anak setiap harinya di ‘sounding’ oleh gurunya bagaimana menjadi seorang siswa kelas 2 yang baik/rippana niinensei/りっぱな二年生. Alih-alih disampaikan untuk belajar giat dan mendapat nilai yang baik saat ujian kenaikan kelas, siswa tahun pertama Elementary School itu setiap harinya justru dimotivasi untuk memperbaiki sikap dan adab sehari-hari baik dirumah maupun disekolah menuju status baru mereka sebagai ‘siswa tahun ke- 2’.
Contohnya, Raisa selalu mengatakan hal-hal yang disebutkan oleh gurunya sebagai ciri rippana ninensei. Begini cara duduk yang baik, adab saat pulang ke rumah meski tidak ada penghuni didalamnya, sopan santun menjawab salam orang lain, dan lain sebagainya. Alhasil, sejak bulan Januari terdapat perubahan signifikan dari tingkah lakunya. Ia mengerjakan PR tanpa diperintah, mempersiapkan buku dan peralatan sekolah dimalam hari, tidur tepat waktu dan bangun lebih awal, langsung mandi dan berpakaian sekolah. Setelah shalat dan mengaji ia sarapan dan menunggu kedatangan teman yang akan bersama-sama berangkat ke sekolah dengan sangat bersemangat.
Padahal sebelumnya, segala sesuatunya masih harus serba diinstruksikan. Sebagai orang tua, selain heran tentu saja gembira akan perkembangan sikap baiknya. Setiap kali mendapat pujian, jawabannya “Iya dong, kan aku harus jadi rippana ninensei”. Kami sebagai orangtua cukup heran dan penasaran bagaimana cara guru kelasnya melakukan penanaman motivasi itu dengan sangat baik.
Memang untuk siswa kelas bawah, hanya pengetahuan dasar yang diulang-ulang sesering mungkin seperti bahasa nasional dan matematika dasar yang diberikan sehari-hari. Sementara titik tekan yang ingin dibangun adalah penanaman karakter diri masing-masing anak.  Di Jepang, pemberian materi yang menuntut konsentrasi tinggi dan keseriusan belajar dimulai sejak tahun ke-4. Tahun pertama hingga tahun ketiga adalah penanaman dan pembentukan karakter diri anak dalam hubungan sosialisasi dengan lingkungannya sehari-hari.

Alih-alih menerapkan sistem tinggal kelas, siswa yang membutuhkan perhatian khusus (biasanya terdiri dari beberapa orang siswa tiap kelasnya) akan digabung kedalam kelas khusus setiap mata pelajaran tertentu seperti Matematika dan Bahasa. Kelas ini diampu oleh guru khusus dan hanya terdiri dari segelintir siswa. Kelasnya biasa disebut 'Kira-kira' yang artinya 'Gemerlap' atau 'Terang-Benderang', biasa dipadankan dengan kata Bintang di langit. Selebihnya anak-anak dikelas tersebut akan bergabung kembali di mata pelajaran lainnya seperti Musik, Olahraga, Kreasi, dan kegiatan umum lainnya.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Masjid Pertama Kagawa dalam Doa dan Cita

Niat Pulang Kampung - Part 1