Menikmati Pengalaman Hamil & Melahirkan “Made in Japan”
Cita Keempat
Menikmati Pengalaman Hamil & Melahirkan
“Made in
Japan”
Sakura あ: Kehamilan Trimester Pertama
Mengaku Hamil Itu Tidak Mudah
Sehari sebelum keberangkatan ke Jepang, tamu “bulanan” hadir.
Alhamdulillah…. Sangat bersyukur
karena memudahkan perjalanan transit puluhan jam lamanya dengan 3 orang anak
kecil. Saat itu - bahkan sebelum berangkat – sudah merencanakan akan
menggunakan alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan hingga kembali ke tanah
air. Maklumlah, banyak rencana yang telah disusun jauh-jauh hari selama hidup
di negeri sakura.
Satu bulan kemudian, tamu bulanan kembali hadir. Senang
sekali rasanya karena sampai saat itu masih belum juga melaksanakan niat untuk
KB dengan sungguh-sungguh. Saat itu, berbagai macam pemikiran dan perasaaan
mulai berkecamuk. Memang benar Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk
tidak membatasi keturunan. Beliau SAW bersabda,
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penuh kasih sayang, yang banyak
keturunan. sesungguhnya aku dengan kalian semua saling memperbanyak pada para
nabi di hari kiamat” (HR. Ahmad al-Thabrani)
Namun disisi lain, Islam juga memperbolehkan KB dengan alasan
syar’i, dalam hal ini karena Rasikh
si bungsu masih dalam masa penyusuan dan saya ingin melanjutkan studi S2. Pada
dasarnya, alasan utama adalah yang pertama. Sebagai ibu saya ingin
menyempurnakan masa penyusuan hingga genap 2 tahun. Sementara alasan kedua,
hati kecil saya menolak menjadikannya sebagai udzur syar’i. Benarkah hanya
karena ingin melanjutkan studi?
Sejak membaca sebuah artikel yang menjelaskan rahasia mengapa
kaum Yahudi menjadi orang-orang yang cerdas, saya menjadi sangat terpengaruh.
Benar sekali bangsa Yahudi memang telah Allah berikan kelebihan, yang tersebut
dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 47:
“Hai bangsa Bani
Israel, ingatlah akan ni’mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan
bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat”
Ternyata, kecerdasan bangsa Yahudi
bukan sekedar mitos atau semata-mata takdir, akan tetapi memang dapat
dijelaskan secara ilmiah. Dr. Stephen Carr Leon, seorang peneliti sengaja
menghabiskan masa 3 tahun di Israel untuk menjalani housemanship di beberapa rumah sakit untuk menulis topik ini
sebagai disertasi Phd-nya. Berdasarkan hasil risetnya, kecerdasan yang dimiliki
oleh kaum ini bukan semata genetika akan tetapi telah sengaja diusahakan sejak
dini, yakni sejak janin dalam kandungan ibunya!
Sementara banyak dari ibu hamil
kebanyakan yang berpendapat bahwa masa kehamilan harus banyak istirahat dan
mengurangi aktivitas melelahkan (fisik ataupun kerja otak), para wanita bangsa
Yahudi justru berpikiran sebaliknya. Saat mengetahui bahwa dirinya hamil -
disamping memakan makanan sehat seperti ikan dan daging, buah-buahan dan
sayuran segar, kacang almond dan minyak ikan -
mereka banyak bernyanyi dan bermain piano. Hal ini ditujukan agar anak
yang dikandung sehat secara fisik dan mental.
Tapi yang paling mengejutkan
adalah, ibu hamil bangsa keturunan Bani Israel ini juga sengaja membeli buku
matematika dan mengerjakan soal-soal sulit hingga tiba waktu melahirkan.
Bahkan, sebagian mereka dengan sengaja melanjutkan studi formal saat mengetahui
dirinya hamil! Luar biasa, sebuah perencanaan yang dilakukan dengan semangat
luarbiasa untuk anak cerdas yang mereka dambakan. Dan ini dilakukan oleh
sebagian besar ibu hamil kaum tersebut, secara sadar dan sengaja, untuk
membentuk anak-anak generasi cerdas yang diharapkan akan menguasai peradaban
dunia.
Saya tidak sedang menganjurkan
untuk mengikuti tradisi mereka, tapi ada baiknya melihat kepada ghirah (kecemburuan) terhadap kebiasaan
baik yang mereka lakukan. Bukankah kita juga menginginkan generasi muslim
menjadi umat yang cerdas?
Sebagai seorang muslim, lakukanlah
misi besar ini dengan metode yang diajarkan Islam seperti menghafal Al-Qur’an,
memperbanyak membaca buku Islami, mengkonsumsi makanan halal dan sehat yang
dianjurkan Rasulullah SAW, dan cara islami lainnya. Bukankah kecerdasan itu
terbagi 2, bawaan genetik dengan terlahir cerdas atau kecerdasan yang
diupayakan melalui proses ketekunan dan kesungguhan dalam menuntut ilmu.
Imam Syafi’i dari Imam Ali bin Abi
Thalib ra. menjelaskan faktor kecerdasan ini dalam kitab
“Ta’lim al-Muta’allim” yang ditulis
oleh Imam Al-Zarnuji. Menurut beliau, syarat-syarat menuntut ilmu ada 6; selain faktor kecerdasan, juga
didukung oleh rasa rakus atau tamak dalam berusaha mencari ilmu, penuh
perjuangan dan kesabaran, bekal atau biaya, bersahabat dengan guru, dan waktu
belajar yang lama. Dalam hal ini, alangkah baiknya memulai proses pembentukan
kecerdasan buah hati sejak dalam kandungan dengan metode yang sejalan dengan
tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah.
Kembali ke topik KB, sebenarnya proses
penundaan kehamilan juga telah berlangsung di zaman Nabi SAW. Hanya saja,
prosesnya masih manual, yakni dengan cara tidak memasukkan sperma laki-laki
ketika bersenggama dengan istrinya. Cara ini biasa disebut dalam istilah Arab
dengan ‘azl. Qadarullah, meski telah mengusahakan cara ini, sebulan kemudian
tamu bulanan rupanya enggan hadir lagi. Meski was-was, akhirnya kami putuskan
untuk ‘mengakui secara tidak langsung’ kemungkinan kehamilan ini
kepada tutor suami.
Mendapat curhatan ‘diluar logika’ orang
Jepang pada umumnya, tutor suami pun melaporkan berita ini kepada Sensei/先生/guru (sebutan untuk
Profesor). Maka beliau memanggil suami untuk membicarakan hal ini
secara khusus, dengan berbagai kemungkinan kedepannya. Untuk memastikan
validnya dugaan kami, beliau secara khusus meminta si tutor untuk menemani kami
ke Drug Store (Toko Obat) terdekat
untuk membeli alat tes kehamilan. Maklumlah, untuk mencari alat ini harus
menggunakan istilah khusus dalam bahasa Jepang. Kemudian beliau berpesan agar
segera memberitahukan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Akhirnya ditemani tutor, kami berangkat
bersepeda ke toko yang dimaksud. Setelah bertanya letak stand alat tes kehamilan yang kami cari,
saya mulai memilih. Dari sekian banyak pilihan, saya mengambil dengan harga
paling rendah. ¥598
harganya (sekitar Rp 70.000,-), dan
saya sudah membatin seumur-umur baru kali ini memakai testpack semahal ini. Biasanya di Indonesia, cukup dengan Rp
5.000,- saja seah testpack bisa dibeli. Saya tidak memperdulikan rekomendasi si
tutor yang memegang-megang testpack dengan harga lebih mahal dengan alasan
lebih valid. This is enough, kadar
HCG dalam urine tidak bisa dibohongi dengan testpack
mahal atau murah, bukan?
Dan benar saja tebakan kami, it’s positive. Meski sempat
saling berpandangan sesaat dengan suami, kami berucap, “Alhamdulillah….” Kami
tahu betul anak adalah amanah Allah SWT yang sudah ditentukan kadar rezekinya
(termasuk hidup, mati, jodoh, dan sengsara atau bahagia) sebelum ruh ditiupkan.
Sebagaimana
nabi SAW
bersabda,
"Entah
apakah kalian melakukannya ('azl), atau kalian tidak melakukannya, sesungguhnya
tidak ada jiwa yang telah dipastikan Allah untuk keluar ke dunia kecuali akan
wujud" (HR. Al-Bukhari)
Masalah selanjutnya adalah melaporkan
hal ini kepada Sensei suami, dan juga
kepada Profesor saya. Jangan tanya seberapa canggung keadaan ini, antara malu
dan tidak enak bercampur aduk menjadi satu. Bahkan sejak awal mempertimbangkan
untuk mengadukan berita ini kepada tutor (dan pasti akan diadukan kepada Sensei), antara yakin dan tidak. Sebab
kami pernah mendengar cerita dari
seorang teman alumni Jepang yang juga hamil saat menjalankan studi. Ketika
diberitakan kepada senseinya, sang sensei marah besar dan berkata, “Saya menyuruh kamu datang kesini untuk
belajar, bukan untuk bikin anak!”
Memang tanggungjawab seorang Sensei kepada mahasiswa bimbingannya
bukan hanya sebagai guru, tapi sejak awal sudah berlaku sebagai guarantor (penjamin) bagi mahasiswa
tersebut. Saat kedatangan awal, nama dan nomor kontak beliau yang akan tertulis
dalam dokumen imigrasi dan hampir seluruh dokumen kenegaraan lainnya selama
tinggal di Jepang. Jadi, dengan sendirinya Sensei
akan ikut bertanggungjawab terhadap kesulitan yang dihadapi mahasiswa
bimbingannya selama hidup di Jepang, termasuk punya anak baru dan segala
prosedur kesehatan yang akan dijalani sejak hamil hingga melahirkan.
Keesokan harinya saat suami melaporkan
hasil testpack kepada Sensei beliau, responnya sungguh diluar
dugaan. Sensei mengucapkan, “Congratulation, your going to be a Dad of 4
children” dengan wajah yang berseri-seri. Syukurlah... beliau tidak marah, sama sekali. Memang
beliau terkenal sebagai seorang profesor yang sayang dan mengutamakan keluarga.
Sejak saat itu, ketika memperkenalkan suami kepada mahasiswa baru (baik
mahasiswa program Short Stay, Suiji, Master), selalu dengan prolog, “This is Agus-san, a doctoral student. He has 3 children and going tobe
4, now his wife is pregnant.”
Beliau juga, sering sekali mengingatkan
suami agar 4 anak cukup (setidaknya sampai selesai studi di Jepang dan kembali
ke tanah air). Dengan kata lain, kerepotan terkait anak-anak kami tidak lagi
dibawah tanggungjawab beliau. Bahkan didepan mahasiswa lain satu lab binaannya,
beliau sering membercandai suami dengan mengatakan, “If you have another kid again, I will kill you” atau “I will make you wear Koteka” sambil
tertawa-tawa, disambut tawa riuh mahasiswa lainnya. Dan suami pun hanya bisa
ikut tertawa (dengan wajah malu) sambil mengangguk-angguk, “Ok, Sensei....”.
Comments
Post a Comment