Memboyong Buah Hati Mengenyam Pendidikan Bersama ke Jepang



Cita Ketiga
Memboyong Buah Hati
Mengenyam Pendidikan Bersama

Sakura : Komunikasi Intens untuk Memahamkan

*Sekuel Buku 'Mencita Sakura'
Meskipun anak-anak adalah makhluk Allah dengan tubuh yang mungil, namun pikiran dan perasaan mereka tak semungil fisiknya. Anak-anak, dengan hati bersihnya kadang justru lebih memiliki kebesaran dan kepekaan perasaan luar biasa dibanding orang dewasa.
Anak yang sering saya ajak komunikasi adalah si sulung, yang dengan sendirinya akan menjawab atau menjelaskan pertanyaan adiknya tentang hal tersebut secara otomatis saat sedang bermain. Meski masih 6,5 tahun usianya, tapi saya memposisikannya seperti seorang sahabat kecil tempat saya mencurahkan perasaan dan pemahaman yang saya miliki kepadanya.
Jauh-jauh hari saat akan menyusul ayahnya ke Negeri Sakura, saya sudah memberikan gambaran kehidupan yang akan kami jalani kedepannya. Lingkungan sekolah dan teman-teman baru yang akan dimiliki mereka akan jauh berbeda dengan yang digelutinya sehari-hari. Begitu pula dengan pemahaman dasar keagamaan, yang pastinya akan menjadi masalah baru jika tidak dikomunikasikan secara intens dari hati ke hati kepada anak-anak.
Salah satu hal yang sangat mencolok bagi anak-anak kami adalah penggunaan jilbab setiap kali keluar rumah, termasuk ke sekolah. Alhamdulillah Jepang adalah negara yang menghargai perbedaan dan memberikan kebebasan, termasuk bagi siswa internasional. Kami sebagai orangtua tidak meminta izin sebelumnya bagi anak-anak kami untuk berjilbab dan berbusana tertutup ketika ke sekolah, mereka dapat melihat gambaran itu saat pertama kali kami berkunjung ke sekolah.
Hanya saja untuk anak kedua kami di Kindergarten – karena pernah mempunyai siswa muslim sebelumnya – meminta izin kepada kami agar saat momen tertentu seperti penampilan festival atau event olahraga dan sesi foto resmi kelulusan sekolah, anak kami dapat membuka jilbab sehingga seragam dengan teman-temannya. Kami menyepakati hal tersebut sejak awal masuk sekolah, dengan pertimbangan memang pada dasarnya anak-anak sebelum masuk usia akil baligh belum mempunyai kewajiban menutup aurat secara sempurna.
Pernah suatu kali seorang ibu warga negara Jepang yang pernah tinggal di Kanada bersama suaminya, bertindak sebagai penerjemah yang mendampingi saya bertanya terkait hal ini demi dilihatnya Rumaisha melakukan cek kesehatan dengan jilbab dan pakaian tertutupnya sepulang sekolah,
Apakah anak anda memang harus menggunakan jilbab sejak masih kecil?
Saya pun menjelaskan bahwa sebenarnya anak-anak belum wajib memakainya, hanya sebagai sarana pembelajaran saja sejak kecil. Dan mereka juga sudah diberikan pemahaman terkait hal ini, mereka memakainya dengan kesadaran menutup aurat bukan atas dasar paksaan. Beliau memahami dan mengatakan kalau dengan jilbabnya anak saya terlihat lebih manis dengan berkata, kawai/可愛い/cute’.
Bagi anak-anak saya, penjelasan yang harus sering diulangi adalah terkait perbedaan agama dengan teman-teman Jepangnya dan konsep makanan halal. Diawal kedatangan mereka sering bercerita bagaimana guru dan teman-temannya sering mengungkapkan pujian terkait jilbab yang mereka gunakan sehari-hari, khususnya anak kedua yang sering menggunakan jilbab warna-warni dan gambar lucu. Biasanya bentuk pertanyaan si kakak adalah, “Mengapa teman-temanku tidak pakai jilbab?” atau versi si kecil, “kata Sensei boleh kok ngga pake jilbab!”
Saat seperti itu, penjelasan konsep kewajiban menutup aurat bagi seorang muslimah harus kembali diulang dengan ‘bahasa’ mereka. Puncak protes biasa berlangsung di puncak musim panas sekitar bulan Agustus, dimana cuaca sedang panas-panasnya. Saat itu harus disiasati dengan membelikan dalaman dan pakaian khusus perlindungan Ultra Violet (UV protection) untuk meredakan suhu panas yang dirasakan. Sementara untuk musim dingin, tentu saja berpakaian tertutup sangat membantu, bahkan orang Jepang sekalipun menggunakan pakaian tebal khusus musim dingin yang menutupi kepala sampai kaki, kadang disertai dengan masker (penutup hidung dan mulut).
Dan terkait konsep makanan halal, tidak hanya sebatas daging babi dan alkohol saja yang dijelaskan bahwa itu dilarang, tapi juga mendetail mengapa bisa disebut ‘halal’. Meski daging ayam tapi yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, atau ikan yang diolah dengan campuran bahan-bahan masakan yang haram, juga sudah dipahamkan dengan baik kepada anak-anak. Itulah sebabnya pertanyaan mereka saat memilih jajan tertentu di supermarket adalah,
Bunda, ini halal?”
Lambat laun, anak-anak ‘mencatat’ dalam memori mereka produk-produk tertentu yang masuk dalam ‘daftar produk halal’ yang biasa kami beli. Produk-produk itu berdasarkan referensi teman sesama muslim, panduan update produk halal di grup FB atau artikel internet. Hal ini dikarenakan sulitnya membaca komposisi makanan yang ditulis dalam huruf kanji Jepang, untuk mendeteksi apakah produk tersebut mengandung shortening (biasa terdapat di roti, cokelat, cake), liquor (didalam es krim), sake, alkohol, arak, lesitin atau gelatin.
Ada dua macam lemak yang digunakan pada hampir semua jenis produk makanan di Jepang, yaitu lemak nabati (植物性油脂) yang insyaAllah bisa dimakan dan lemak hewani (動物性油脂) yang bisa dipastikan haram. Namun, jika tertulis lemak” saja (油脂), ini perlu diwaspadai dan ditanyakan ke customer service dari produk pangan tersebut. Kecuali produk impor negara lain (terutama negara muslim seperti Indonesia, Malaysia, Turki atau yang memang khusus menghasilkan produk halal tertentu seperti mie instan Thailand atau Korea, ayam potong Brazil, dll) yang mencantumkan label ‘حلال‎’ di kemasannya, kehalalan produk Jepang sebagian besar hanya bisa dilihat dari komposisi/ ingredients (原材料 / genzairyo) nya.
Di Jepang, suatu makanan dapat dikategorikan haram jika makanan tersebut mengandung daging babi, daging sapi dan daging ayam (baik itu dalam bentuk daging maupun ekstrak daging) atau mengandung alkohol. Dalam snacks yang dijual di beberapa toko atau kombini/コンビニ/convenient store (misalnya 7-11, Lawson, Family Mart yang buka 24 jam), pada shortening-nya kadang kala tercantum ショートニング(パーム油、ヤシ油) yang menerangkan bahwa shortening-nya terbuat dari tumbuhan (minyak palem dan minyak kelapa sawit). Untuk kasus seperti ini makanan tersebut insyaAllah boleh dimakan.
Sekali lagi, anak-anak adalah hanya butuh komunikasi yang baik untuk menanamkan pemahaman terkait hal-hal yang dijalaninya sehari-hari. Sebagai orangtua, menjadi tugas utama membangun konsep pemahaman baik tersebut kepada anak-anak sejak dini. Dan anak-anak dengan fitrahnya yang bersih, insyaAllah dapat menerima pemahaman dari orangtuanya selama disampaikan dengan pola komunikasi yang baik sesuai dengan fitrah mereka sebagai anak-anak.

Comments

Popular posts from this blog

Masjid Pertama Kagawa dalam Doa dan Cita

Kehamilan Trimester Pertama di Jepang (3)

Study from Home Ala Anak SD Jepang