Matematika Penuh Warna dan Tak Sekedar Angka


Apa yang terbersit pertama kali ketika mendengar kata 'Matematika'? Pasti kebanyakan menjawab sulit, rumit, membingungkan dan semacamnya, meski bagi ahli matematika sendiri bidang ini sangat menarik untuk ditekuni. Salah satu guru matematika di sebuah Boarding School bertaraf internasional menjawab alasannya ketika ditanya kenapa memilih matematika sebagai hal yang digeluti sepanjang hidupnya. Menurut beliau, matematika adalah ilmu pasti yang hanya memiliki sebuah jawaban yang sudah disepakati. Seperti pepatah "Banyak Jalan Menuju Roma", maka melewati rute manapun akan tiba juga pada tujuan yang sama. Demikian dengan matematika, menggunakan rumus apapun 2+2 sama dengan 4. That's it. Cukup mengikuti alur berpikir yang ditentukan, maka akan sampai pada kesimpulan yang sama.

Saya mengangguk-angguk saat itu. Apalagi saat beliau membandingkan dengan mata pelajaran lainnya, misalnya yang membutuhkan kekuatan menghafal (seperti biologi, sejarah) atau yang membutuhkan imajinasi (seperti sastra dan filsafat). Benar juga, bukan? Jika ditanya huruf C+I+N+T+A sama dengan apa....? Seorang mahasiswa sastra atau filsafat akan mengurainya menjadi berlembar-lembar tulisan, bahkan bisa menyulapnya menjadi sebuah novel tebal. Hahaha, saya tertawa saat itu. Tetap saja, saya tidak lantas sepakat dengan pernyataan beliau. Bagi sebagian besar orang yang pasti mengalami masa kecil dan pendidikan dasar dulu di SD sampai SMA, matematika adalah salah satu pelajaran momok yang menakutkan. Apalagi kalau diajar oleh guru killer, ampun komplit sudah penderitaan.

Padahal matematika adalah ilmu dasar digunakannya logika hitung-menghitung bagi banyak cabang ilmu lainnya. Jika seorang mahasiswa ingin menghindari jurusan saintek di bangku perkuliahan seperti fisika, kimia atau teknik, ternyata sosial humaniora juga tetap menggunakan ilmu matematika seperti ekonomi, akuntansi, bisnis, dan sebagainya. Bahkan bisa dikatakan, sulit sekali memisahkan matematika dari kehidupan sehari-hari. Justru semakin tua setiap orang malah semakin menggeluti matematika. Tidak percaya? Lihat saja bagaimana ibu-ibu berkutat dipasar membeli kebutuhan sehari-hari atau mencari diskon di toko-toko atau lapak online, dan bapak-bapak yang memeras keringat mencari nafkah demi menghitung kebutuhan anak istri yang semakin hari semakin meningkat. Secara tidak sadar, itu semua adalah dunia matematika. Oh, ternyata...

Perangkat Matematika siswa SD di Jepang




Ok, disini saya ingin membahas tentang pendidikan dasar Jepang mengenalkan matematika kepada anak-anak. Bukankah cinta itu pada pandangan pertama? Atau pepatah lain berbunyi, kesan pertama menentukan rasa selanjutnya. Nah, melihat seperangkat alat matematika yang diserahkan oleh ibu guru Raisa membuat saya tertegun. Bukan karena jumlahnya ratusan item yang harus saya labeli nama Raisa satu-persatu, tapi lebih kepada memaksa memori saya kembali ke zaman pertama kali mengenal matematika. Bisa semenarik ini ya alat peraga matematika bagi anak-anak Jepang?

Satuan alat hitung yang terbuat dari plastik

Masih ingat dengan lidi kelapa yang biasa dijadikan sapu? Zaman dulu cuma dipotong-potong dengan ukuran panjang tertentu untuk dijadikan satuan alat hitung. di Jepang ternyata juga sama, bedanya tidak perlu mengambil daun kelapa lalu menyisirnya satu-persatu untuk diambil lidinya. Dengan bahan plastik aneka warna tertentu; biru untuk ribuan, kuning untuk ratusan, merah untuk puluhan dan hijau untuk satuan. setiap warna yang mewakili satuan hitung yang sama diikat menggunakan tali dalam alat set matematika tersebut.

Berbagai bentuk bangun ruang 
Selanjutnya ada beberapa bangun ruang yang diberi warna yang berbeda-beda. Ada kubus, limas, tabung, bola, heksagonal, pentagonal dan kawan-kawannya. sekali lagi, semua detail benda-benda ini harus dilabeli nama satu persatu-satu seperti yang saya tunjukkan di gambar. Ketika Raisa chan dan teman-teman sekelas menggunakan barang yang sama, tetap tidak akan tertukar satu sama lainnya (termasuk satu-persatu lidi satuan hitungnya juga diberi nama).

Jam manual sebagai alat belajar waktu
Nah, terakhir ada jam manual yang bisa digerakkan jarum menit dan jamnya. Sangat berguna ketika anak sampai pada bab pembelajaran tentang waktu. Karena setiap siswa mempunyai jam yang sama dalam set matematika mereka, maka setiap orang bisa memperagakan langsung tanpa harus mengantri menggunakan alat yang sama, atau bahkan hanya mendengar guru dengan alat peraga menjelaskan dari depan kelas. Menarik, ya?

Memang, ciri khas pembelajaran di Jepang adalah pertama, practice by doing. Belajar soal uang, ya pake uang langsung yang serupa bentuk dan ukurannya. Ada uang mainan yang bisa digunakan siswa di set matematika ini. Juga ada keisan kaado (kartu hitung) yang terdiri dari set penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian. Setiap kartu harus dibaca siswa minimal 3 kali setiap hari. Misalnya dalam 1-2 bulan pertama adalah kartu penjumlahan sederhana antara 1-10, lalu bulan selanjutnya dengan penjumlahan 1-10 dengan hasil jumlah diatas 10. Berikutnya semakin sulit sesuai urutan tingkat kesulitan. Nah, ciri khas kedua pembelajaran di Jepang adalah, master by repetiting, menguasai dengan mengulang-ulang.

Segitu dulu ya cerita tentang alat peraga Matematikanya siswa kelas 1 SD-nya Jepang. Jangan dikira sebagai salah satu negara dengan teknologi paling maju di dunia, segala sesuatunya harus pakai alat-alat canggih. Nggak. Ini salah satunya, bagaimana cara mereka mengenalkan matematika pertama kali kepada generasi mudanya. Karena logika berpikir anak yang sangat sederhana, lebih mudah dipahami dengan konsep yang down to earth dibanding ribet njelimet dengan teknologi mutakhir. Simple is the best, kata professor saya.

Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai adalah, semua siswa bisa mencapai standar pencapaian yang sama. Mungkin ada beberapa orang istimewa dalam bidang mata pelajaran tertentu, tapi sebagian besar adalah rata-rata dan sebagian lagi dibawah rata-rata. Dengan cara belajar 2 ciri yang sudah disebutkan tadi, praktek langsung dengan eksperimen dan pengulangan secara rutin setiap hari, setiap siswa akan mencapai hasil yang diharapkan.

Alhasil, semua anak itu istimewa. Karena yang terpenting adalah usaha, kerja keras dan disiplin mengulangnya. Selanjutnya, dalam praktek tersebut diajarkan juga kerjasama dalam tim. Tak heran, siswa Jepang paling jago kerjasama, karena semua aspek pendidikan menerapkan karakter ini untuk muncul. Bahkan matematika yang notabene momok bagi hampir sebagian besar siswa, bisa jadi pelajaran yang menyenangkan dengan alat peraga dan kerjasama tim dalam praktek pembelajarannya.

Salam!

Comments

Popular posts from this blog

Masjid Pertama Kagawa dalam Doa dan Cita

Kehamilan Trimester Pertama di Jepang (3)

Study from Home Ala Anak SD Jepang