Berjuang Bersama Itu Sulit, Tapi Jauh Lebih Mudah

Berfoto diatas Kapal Perang Jepang yang sedang bersandar dan terbuka untuk umum

Sakura : Berjuang Bersama Itu Sulit, Tapi Jauh Lebih Mudah

*Sekuel Buku Mencita Sakura
 Siapa Bilang Akan Mudah?
Jika ditanyakan, lebih enak mana hidup di Indonesia atau Jepang? Seperti yang sudah saya jelaskan diatas, tentu saja jawabannya lebih nyaman di negeri sendiri. Tapi menjadi berbeda jika kondisinya jauh/dekat dari pasangan. Sungguh, di bumi Allah manapun bersama pasangan dengan segala tantangan dan suka dukanya akan terasa lebih mudah dibanding menjalaninya terpisah.
Dengan membawa pasangan dan anak-anak, dengan sendirinya harus ada waktu tersendiri untuk keluarga dibanding berangkat studi sendiri. Belanjaan yang jauh lebih banyak, urusan yang bertambah dari setiap anggota keluarga, belum lagi jika ada yang sakit harus ada yang mengantar berobat atau mengambil alih ekstra kerja, dan lain sebagainya. Tapi pada kenyataannya, apa yang tampak merepotkan dari luar, tidak bisa dinilai demikian saja dari sisi dalamnya. Ya, batiniah yang kasat mata.
Kebersamaan dengan keluarga kelihatannya sangat menghabiskan waktu, tapi ternyata yang jauh dari keluarga pun harus punya waktu tersendiri dan ekstra untuk menelpon di waktu-waktu tertentu setiap hari. Membawa keluarga tampaknya menghabiskan anggaran lebih tiap bulannya, tapi ternyata yang jauh dari keluarga juga harus punya tabungan khusus yang siap dihabiskan sekali perjalanan kunjungan pulang ke tanah air atau sebaliknya, mengundang pasangan dan anak-anak untuk datang.
Pun dengan sendiri tampaknya lebih bisa fokus dengan perkuliahan, karena waktu yang tidak terbagi dengan urusan rumah tangga. Tapi ternyata waktu yang padat membuat seorang mahasiswa dengan keluarga yang diajak serta, membuatnya lebih bisa belajar membagi waktu sebaik-baiknya. Dan fokusnya bisa jadi lebih baik, karena tidak berurusan dengan kerinduan karena faktor jarak dengan keluarga. Apalagi jika pasangan atau anak yang jauh sedang sakit, bertambah sudah rasa cemas yang bercampur dengan keterbatasan tidak mampu mengunjungi. Bukan semata faktor dana tapi juga waktu yang tidak memungkinkan untuk izin dari padatnya jadwal perkuliahan.
Jadi, bagi yang masih mempertimbangkan untuk membawa keluarga serta dalam perjalanan studi keluar negeri/daerah, jangan lagi bimbang dan ragu. Lebih sibuk dan lebih sulit pasti, tapi lebih tenang dan lebih bahagia adalah konsekuensi yang akan mengikutinya.
Yakinlah, selalu ada pertolongan Allah bagi orang-orang yang yakin akan kebenaran dan tidak sedikitpun meragukannya. Jangan pikirkan bagaimana, karena itu sudah tertulis dalam catatan-Nya. Dia dengan cara-Nya akan menunjukkan jalan keluarnya. Dan sesungguhnya, pertolongan Allah itu sangat dekat.
 Berkah, Cukup Sudah
Yang paling mengherankan adalah, jika dihitung secara logika matematika, harusnya keadaan ideal pengeluaran adalah sebaliknya. Rata-rata, harga barang di Jepang dibanding tanah air antara 2 sampai 10 kali lipat. Nyatanya, pengeluaran jauh lebih hemat dengan hidup bersama ketimbang hidup terpisah. Meskipun di Negeri Sakura yang biaya hidupnya dua-tiga kali lipat besarnya dibanding tanah air.
Enam bulan pertama saat kami berjauhan, entah kenapa ada saja pengeluaran diluar dugaan. Dengan kondisi terpisah, saya harus menggaji asisten rumah tangga atau memilih membawa serta keluarga untuk tinggal bersama mengasuh anak-anak. Kebetulan Bapak saya yang ada kesempatan untuk membersamai cucu-cucunya. Maka otomatis segala biaya perjalanan beliau Kepulauan Riau – Gorontalo, saya yang menanggungnya. Belum lagi “memberi nafkah” kepada Ibu dan adik-adik karena ditinggal sementara oleh Bapak yang biasa mencari nafkah.
Itu baru dari segi materi yang tampak nyata dan bisa dihitung. Belum lagi segi moril, baik saya sebagai istri maupun anak-anak, demikian juga suami yang jauh dimata. Ibarat sepasang sayap yang saling melengkapi bagi seekor burung untuk sempurna terbang, pun demikian dengan pasangan rumah tangga. Mungkin benar segala sesuatunya ‘tampak’ berjalan dengan baik dengan ada atau tanpa pasangan disisi, akan tetapi jika mau jujur melihat hakikatnya, maka akan terasa ketimpangan yang sangat besar.
Disadari atau tidak, emosi saat berdua bisa saling bersua dibanding saat sendiri sangatlah berbeda. Meski teknologi canggih masa kini telah mampu membuat jarak terasa dekat dengan fasilitas video call, tetap saja tidak seideal kebersamaan langsung. Bukan hanya suami atau istri yang butuh sentuhan satu sama lain, tetapi dampak sentuhan ke anak-anak ternyata juga sama. Saat sesekali waktu salah seorang diantara si kecil menanyakan tentang ayahnya, atau saat puncak kerinduan mereka menangis dan berkata,
Aku kangen Ayaaaaaah……”
Saat itu sebagai ibu hanya mampu memeluknya sembari menghibur dengan kata-kata penenang, padahal dalam hati gejolak yang tengah dirasa sungguh lebih menggelora. Beban sebagai single parent untuk sementara waktu, ditambah berkomunikasi yang terbatas diwaktu-waktu tertentu - kadang ditingkahi dengan gangguan jaringan yang loading bahkan menghilang - sungguh membuat apa yang ditanggung pundak ini berlipat-lipat rasanya.
Dan jika ingin tahu bagaimana perasaan pasangan nun jauh disana, sesungguhnya beban yang dirasakan pun sama. Bukan sekedar beban kuliah yang berat saja, tapi “masalah jarak” dengan keluarga adalah beban lainnya - yang sayangnya menambah berat beban itu berkali lipat – yang tidak sama sekali mengurangi beban-beban itu. Karena dengan kondisi lintas negara, menunggu pulang 6 bulan apalagi 1 tahun sekali demi alasan keuangan, adalah hal yang sulit dilalui oleh fitrah pasangan manapun.
Disinilah letak perbedaannya menurut saya. Berkah. Hal yang memudar saat berjauhan, tapi sebaliknya semakin banyak dan bertambah saat berdekatan. Sulit dijabarkan dengan kata-kata dan logika, tapi demikianlah keajaiban yang bernama keberkahan itu terjadi dengan niscaya. Asal kita yakin percaya, lurus niat diawal, meluaskannya lalu menjalaninya dengan tawakkal dan usaha terbaik.
Saya selalu mengingatkan suami, agar menjaga perasaan teman yang kondisinya berjauhan dari keluarga. Selain sensitivitas atas dasar masalah jarak ini, ditambah bilangan tahun perkuliahan yang bebannya semakin memuncak menjelang kelulusan, hingga bisa jadi kondisi keluarga kami menjadi penambah masalahnya. Kenapa bisa demikian?
Karena dengan jumlah keluarga kami yang besar disini, menyebabkan banyak hal yang harus diurus dari setiap personil keluarga. Misalnya urusan masuk sekolah anak pertama dan kedua saat datang, disusul pendaftaran kuliah saya, lalu ditambah urusan kehamilan, lalu pendaftaran sekolah pengasuhan anak ketiga dan calon bayi yang akan ditinggal saat kuliah berlangsung. Dengan sendirinya, perhatian dan waktu Sensei suami terhadap beliau lebih banyak dibanding mahasiswa berstatus single lainnya. Cukup masuk akal jika saya katakan hal ini bisa saja memicu kecemburuan dan menambah sensitivitas dari permasalahan yang ada.
Oleh karena itu, sebisa mungkin kami sekeluarga menjaga perasaan teman yang jauh dari keluarganya. Kegembiraan yang kami rasakan jangan sampai justru menjadi kesedihan tersendiri bagi orang lain. Belum lagi keberkahan dari kebersamaan kami sekeluarga – dengan kemudahan jalan keluar atas kesulitan-kesulitan yang kami hadapi – bisa jadi menjadi sudut pandang tersendiri bagi orang lain yang tidak merasakannya karena terpisah jarak dengan keluarga yang dikasihinya.
Well, lets take a lesson from my story. Sekali lagi niatkan sejak awal bagi anda yang ingin melanjutkan studi, bahwa studi ternyata bisa menjadi sarana bagi keluarga untuk bisa bersama menikmati petualangan baru yang tidak akan didapati ditempat tinggal sebelumnya. Dan tentu saja, berjuang bersama itu jauh lebih membahagiakan dibanding berjuang sendiri. Kesulitan yang akan dihadapi lebih banyak memang, tapi dengan kebersamaan akan menjadikan segala sesuatunya lebih mudah.
Dan berkah, apalagi yang akan dicari jika hidup telah dilingkupi keberkahan?
Dengan keberkahan, yang sedikit menjadi cukup untuk dibagi kepada semua. Dengan keberkahan, kemudahan jalan keluar akan megatasi semua kesulitan. Dengan keberkahan, kebahagiaan akan hadir dengan sendirinya.
Maka, carilah keberkahan itu dalam kebersamaan.

Comments

Popular posts from this blog

Masjid Pertama Kagawa dalam Doa dan Cita

Kehamilan Trimester Pertama di Jepang (3)

Study from Home Ala Anak SD Jepang