Ambigu
Lebaran baru saja Jumat pekan lalu, tapi Rabu ini aku sudah harus berkutat kembali dengan rutinitas kampus. Hanya dua buah mata kuliah, tapi tetap saja aku masih ingat bahwa mestinya ditanah air masih waktunya libur panjang dan bersilaturahim ke sanak keluarga.
Apa daya lebaran tanpa liburan, bahkan hari-H seusai shalat Idul Fitri seadanya di mushola kampus kami kembali ke rutinitas di kampus masing-masing. Beginilah nasib mahasiswa perantauan di negeri minoritas Muslim.
Bunyi ‘ting’ menyapa dan suara seorang wanita menggema, ‘Sankai desu… (Lantai tiga)’.
Aku bergegas berlari kecil sesaat setelah pintu elevator terbuka.
Suara bel pergantian jadwal mata kuliah sudah terdengar sejak di dalam kelas mata kuliah Study of Foreign Book pukul 10.20 tadi, tapi beberapa menit kemudian masih kuhabiskan waktu berbasa-basi menutup pertemuan dengan Professor Mochida. Mochida Sensei – begitu mahasiswa memanggil beliau – memang baik dan menyenangkan.
Sensei menyampaikan beberapa pesan untuk kelas berikutnya, sembari menghapus whiteboard yang penuh dengan tulisan tangannya menjelaskan mata kuliah hari ini. Tak tanggung-tanggung, tiga buah whiteboard penuh dengan gambar kurva-kurva ekonomi karyanya.
Sambil mendengarkan aku membenahi buku-buku dan memasukkannya kedalam tas, kemudian mengamati pekerjaan beliau yang cukup kerepotan menghapus coretan spidol yang tersisa. Kuambil sebuah penghapus dan membantunya menghapus agar lekas selesai.
“Arigatou… (terimakasih)”, ujar beliau sambil tersenyum.
Senyum yang tidak pernah hilang kecuali tengah berpikir keras menjelaskan materi kuliahnya kepadaku dalam Bahasa Inggris. Selebihnya, senyum itu lebih suka menghiasi bibir tipis beliau yang membatasi kawat giginya.
Aku tahu sebenarnya kalau beliau tak suka dibantu, dan bantuanku pun pada dasarnya hanya meringankan pekerjaanya beberapa detik lebih cepat saja. Beliau segera membereskan setumpuk buku-bukunya dan berjalan cepat keluar ruangan. Kumatikan pendingin ruangan dan lampu, dan beliau sudah keluar sambil menahan pintu untukku.
“Arigatou gozaimasu (terimakasih, dalam bentuk sopan)”, ucapku sambil mengangguk.
“Iee… (tidak apa-apa)”, balasnya sambil tersenyum lebar. Beliau lalu mengamatiku mengunci pintu kelas dan berpesan, “Tolong ya kuncinya dikembalikan ke Gakumu (kantor administrasi kampus)”.
“Haik, Sensei (Baik, Professor)”, jawabku. Setelah beliau mengucapkan sampai jumpa minggu depan, aku mengganguk cukup dalam dan mengucapkan terimakasih sekali lagi sebagai penutup.
Aku menghela nafas lega, selesai sudah satu kuliah hari ini. Kupercepat langkah melewati dua buah pintu, menyusuri sebuah lorong toilet pria dan wanita, lalu berbelok sebelah kanan. Tangga menuju kebawah menunggu, tapi aku tetap berjalan lurus kebelokan selanjutnya. Disana ada sebuah elevator yang kucari.
Bukan hanya menghemat waktu karena harus segera masuk ke kelas berikutnya dalam hitungan menit, akupun memang perhitungan soal menghabiskan energi hanya untuk naik turun tangga. Beda sekali dengan orang asli sini, entah dosen, pegawai atau mahasiswa suka sekali naik tangga. Elevator ini selalu sepi peminat. Coba saja ditaruh dikampusku di kampung halaman, mungkin beberapa bulan saja sudah jebol saking banyak yang antri naik turun.
Sebenarnya kelas selanjutnya hanya tiga langkah jaraknya dari posisiku saat ini, sebuah ruangan pertama disebelah kanan. Apa daya aku harus mengembalikan kunci kelas terlebih dahulu ke Gakumu sebelum bel kembali berdentang, pertanda kelas baru dimulai.
Aku tidak boleh terlambat, ujarku dalam hati. Dan untuk menunda pekerjaan pengembalian kunci ini aku tidak pernah berani. Jangan sampai ada prosefor lainnya yang butuh menggunakan ruang kelas ini untuk pertemuan kuliahnya. Aku tidak mau ambil resiko. Kupercepat langkah sebelum bel selanjutnya kembali berdentang.
***
Aku kembali ketempat semula sambil ngos-ngosan. Aku melihat jam dipergelangan tangan, pukul 10.29. Satu menit kumanfaatkan untuk mengambil tugas meringkas pekan lalu, beserta fotocopy bab yang akan dibahas hari ini. Apalagi, ya? Ohya, minum!
Aku segera menenggak beberapa teguk air putih dari botol minum yang kubawa dari rumah. Pekan lalu aku lupa minum sebelum masuk ruangan dan yang terjadi ditengah-tengah jam kuliah adalah rasa ngantuk yang melanda karena pasokan oksigen yang kurang. Sementara Sensei sedang asyik bercerita aku harus sibuk memijit-mijit telapak tangan agar tetap terjaga. Jangan sampai hal itu terjadi lagi hari ini.
Bel pun berdentang. Kutunggu alunannya hingga selesai. Tepat sedetik kemudian, kuketuk pintu ruangan beliau.
“Shitsureisimasu… (Permisi)”, ucapku cukup lantang.
“Haik, douzo! (Ya, silahkan)”, terdengar suara seseorang menjawab dari dalam.
Kudorong pintu dan melangkah masuk. Seorang pria berkemeja putih menyambut dengan antusias. Rambutnya mulai renggang dibagian depan tapi tak mengurangi tampilan good-looking beliau diusianya yang sudah kepala lima. Kadang aku meragukan putri pertamanya sudah berusia dua puluh lima, sementara perawakannya masih terlihat sepuluh tahun lebih muda.
Aku langsung menyerahkan tugas kuliahku, disambut uluran tangan beliau dengan senyum dan berujar,
“Otsukaresamadesu… (kerja bagus)”
Aku mengambil posisi duduk dihadapannya. Sebuah meja besar memisahkan kami. Dibagian belakang tampak beberapa botol kopi aneka merk, menguarkan keharuman khasnya. Tumpukan buku dan kertas disana-sini, tampak sedikit berantakan tidak tertata. Beliau sudah meminta maaf dipertemuan pertama soal labnya yang cukup ‘messy’ ini.
Diruangan yang berukuran empat kali enam meter ini, wajar sekali sulit mengatur buku dan dokumen yang jumlahnya ratusan hingga ribuan buah. Dua rak buku dikanan kiri sudah penuh berisi buku, padahal lebarnya tiga meter dan tingginya dari lantai hingga kebatas plafon langit-langit ruangan. Pernah kutanyakan apakah buku sebanyak itu sudah dibaca semua, jawabnya sebagian besar. Luar biasa.
“How are you。”
“I am fine, Sensei”
“How about your kids?”
“They are fine, too”
“How about the other lectures?”
“Fine, but I have a lot of assignments”, jawabku sambil sambil berusaha tersenyum. Entahlah apakah wajah lelah melembur mengerjakan tugas kuliah hari ini jelas terlihat diwajahku.
“So desu ne….(begitu ya)”, responnya sambil menunjukkan wajah simpati.
Lalu sedikit basa-basi lainnya sebelum akhirnya masuk ke topik pembelajaran. Materi kuliah Intercultural Communication memang menarik, selalu saja ada hal baru yang kubawa pulang setiap pekannya. Intercultural, bukan international, berarti mempelajari lintas budaya. Dan aku selalu suka dan terpukau dengan budaya yang baru aku ketahui, apalagi jika bisa jadi refleksi terhadap budaya negeriku tercinta.
“Jadi….”, beliau mulai masuk ke inti perkuliahan, “Setelah Hofstede membagi kebudayaan kedalam dua bagian, maka akan terlihat bahwa Jepang mempunyai ciri high-context-culture”
“Oh, begitu ya Sensei?”
“Ya, seperti yang pernah saya jelaskan padamu sebelumnya bahwa masyarakat Jepang itu homogen. Walaupun ada perbedaan fisik dibeberapa wilayah Jepang bagian tertentu, tapi kami merasa dan berpikir bahwa kami semua sama. Karena kesamaan itu pula, kami cenderung berpikir bahwa kami bisa membaca pikiran orang lain tanpa harus mengungkapkannya. Kami bisa membaca maksud yang ingin disampaikan hanya melalui gerak-geriknya tanpa harus orang tersebut mengungkapkannya secara langsung.”
“Seperti ketika seseorang menolak ajakan orang lain dengan hanya mengatakan, ‘Cottoo….’?”, balasku atas penjelasannya.
Cottoo dalam bahasa Jepang artinya sedikit, bisa dijadikan jawaban untuk menolak ajakan atau undangan orang lain, misalnya ajakan makan siang bareng, tanpa perlu menjelaskan kenapa menolak. Maksudnya bukan mau makan cotto Makassar ya, eh….
“Ya, itu salah satunya. Tapi kamu tidak mengucapkannya sekalipun, orang Jepang sudah bisa menebaknya. Kami menyebutnya ‘read the air’. Agak aneh terdengar memang, bagaimana cara membaca udara? Tapi begitulah… kami adalah masyarakat dengan konteks budaya yang tinggi. Terkadang agak menyebalkan jika orang lain tidak bisa membaca situasi, dan kami hanrus menyampaikannya secara verbal. Tapi kami cukup mengerti jika itu adalah orang asing yang mungkin belum mengetahui kebudayaan kami. Tapi kami sangat menghargai mereka yang mau belajar ‘read the air’ ini, karena situasi seperti ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dan kemampuan ini sangat berguna untuk dapat berinteraksi dengan baik terhadap orang Jepang.”
“Hmmmm…. Bukannya akan terasa seperti ambigu, Sensei?”
“Ya…… betul sekali. Bagi orang yang belum mengerti, sikap orang Jepang akan terlihat seperti ‘ambigu’. Tapi sebenarnya tidak demikian. Kami tidak bilang secara langsung, ‘kami sudah kenyang jadi tidak bisa ikut ajakan makan’ atau ‘nilaimu jelek dan harus belajar lebih baik lagi’. Tidak. Kami lebih memilih bilang ‘Maaf, lain kali silahkan undang lagi’ atau ‘memang materinya sulit sehingga wajar saja jika banyak mahasiswa yang kesulitan melaluinya’. Kami tidak memilih langsung to the point seperti orang Amerika, tapi lebih memikirkan menjaga muka atau rasa malu yang akan ditanggung oleh lawan bicara melalui gerak-gerik atau pemilihan diksi yang berbeda. Jika kamu sudah bisa membaca situasi seperti ini, kamu akan tahu bahwa tujuan kami adalah agar menjaga perasaan orang lain.”
Aku mengangguk-angguk. Aku tahu beliau tak butuh tanggapanku. Rasanya aku cukup pandai urusan ‘read the air’ saat kuliah dengan beliau, kapan harus menanggapi dan kapan cukup menggangguk-angguk saja atau menunjukan ekspresi tertentu sesuai topik pembicaraan. Meski seringnya ya cukup dengan mengangguk-angguk saja karena beliau memang suka sekali berbicara hampir seluruh waktu kuliah.
“Tapi meski tampaknya ‘ambigu’, orang Jepang paling tidak suka dengan hal-hal yang ambigu. Ini terdengar lebih aneh lagi. Meski tampaknya ‘ambigu’, orang Jepang paling tidak suka dengan hal-hal yang ambigu.”
“Hee?”, responku. ‘Hee’ biasa digunakan orang Jepang untuk merespon pembicaraan yang mengagetkan. Semacam ‘Isn’t it?’ atau ‘Really?’ bagi Western people.
“Ya,” ucap beliau menegaskan. “Sebagai contoh, apabila disebutkan kereta akan datang pukul 10.18 maka tepat pada menit yang sama kereta itu akan datang. Puluhan tahun saya hidup di Jepang belum pernah sekalipun jadwal kereta itu terlambat. Pernah sekali saya ke… (beliau menyebutkan nama sebuah prefektur) dan kereta sedang berhenti beroperasi karena dalam proses pengecekan. Saya ingat para direktur kereta api membungkukkan badan dalam-dalam dan menyampaikan permohonan maaf atas pengghentian layanan pada hari itu. Begitu juga para pegawai kereta api melakukan hal yang sama. Padahal mereka berhenti karena alasan yang jelas tapi tetap saja meminta maaf. Saya salut sekali atas pelayanan dan profesionalisme kerja mereka sehingga selalu tepat waktu beroperasi.”
Aku tersenyum kecut sambil mengangguk-angguk, ‘Duh, ini orang Jepang sendiri sampai begitu terkagum-kagumnya atas hasil kerja bangsanya sendiri. Gimana gue yang datang dari sono?’, gumamku dalam hati sambil berpikir ke sebuah negeri nun jauh disana.
“Eh, tadi kita sedang ngomongin apa? Ambigu ya… Ya begitulah, orang Jepang tampaknya ambigu bagi orang asing, tapi paling tidak suka dengan yang ambigu”, ulangnya lagi.
“Pantas saja Sensei, saat saya sedang hamil tiga bulan ada orang dari kantor pemerintah setempat datang menanyakan nanti bayinya mau dikasih nama siapa? Saya dan suami bingung kan, akhirnya mereka bilang ya udah tidak apa-apa nanti saja setelah lahir baru ditulis nama anaknya”
“Begitu ya…. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah masyarakat kalian high-context culture atau low-context culture?”
Kali ini tidak mengangguk-angguk tanda setuju, aku menggeleng keras-keras.
“Sepertinya kebudayaan Indonesia kebalikannya Jepang, Sensei. Masyarakat Indonesia sendiri kan heterogen, jadi kami harus jelas menyampaikan sebuah maksud secara verbal. Jarang sekali orang mengerti bahasa isyarat atau bisa membaca pikiran orang lain”, jawabku.
Ingin sekali kutambahkan dengan ‘lha wong sudah disampaikan maksud dengan bahasa yang baik dan benar saja masih bisa disalahartikan apalagi pake isyarat-isyaratan. Apalagi didunia maya, netizennya duuuh… verbal banget tanpa tedeng aling-aling semua dikomentari. Lalu perang dunia mayapun dibawa-bawa kedunia nyata’. Tapi sudahlah tidak perlu ngomong begitu, nanti dikira curhat. Waktu kuliahpun hampir habis.
“Apalagi soal jadwal tepat waktu itu, Sensei. Duh, jangan dibayangkan di Indonesia ada tempat pemberhentian khusus bis dengan jadwal yang tertata rapi. Kami bisa menyetop bis dimana saja, kapan saja, tak jelas. Kalau bisnya penuh ya silahkan menunggu yang selanjutnya. Entah lima menit atau setengah jam kemudian ya tidak pasti. Ya…. Saya rasa itu juga menjadi faktor kenapa orang Jepang usianya lebih panjang. Tidak perlu marah-marah, was-was dan perasaan negatif lainnya hanya untuk naik angkutan umum.”
Tuh kan aku jadi curhat.
Sensei tertawa. Tak lama kemudian bel selesai jam kuliah berdentang.
“Well, waktunya habis… Jadi, apa rencana kamu pekan ini?”
“Saya sekeluarga akan pergi ke Ehime untuk mengurus pembuatan paspor bayi saya, Sensei. Konjen Osaka mengirim perwakilannya di Warung Konsuler bagi Warga Indonesia yang ingin mengurus administrasi di acara setelah bulan Ramadhan berakhir, namanya Halal Bi Halal”
“Oh, begitu ya… ok kita sampai disini dulu. Dan karena kita cukup banyak diskusi tentang budaya Jepang hari ini, materi bab ini belum selesai saya jelaskan keseluruhan. Saya sudah menyiapkan fotokopi bab selanjutnya, tapi akan saya tunda untuk pekan depan. Jadi kamu tidak harus membuat tugas bab ini dan bisa menikmati perjalananmu bersama keluarga,” ucapnya dengan ekspresi wajah penuh arti.
“Arigatou gozaimasu, Sensei…”, jawabku senang.
“Ok, see you next week. Good job for today”
Aku membungkuk-bungkuk sambil berjalan mundur menuju pintu. Setiba diluar selesai menutup pintu dan berjalan menuju elevator aku menggumam sembari membayangkan jalan-jalan lintas propinsi tanpa harus dibebani tugas kuliah,
“Yes! Libur beneran”
***
N.B.
Terimakasih admin yang sudah approve tulisan ini. Bahasa pengantar yang sehari-hari saya gunakan dikampus adalah Bahasa Inggris, terkadang dengan sedikit bahasa Jepang, tapi disini saya ceritakan dalam Bahasa Indonesia agar mudah dimengerti. Semoga ada nilai positif dan manfaat yang bisa diambil. Saya ingin berbagi kisah sehari-hari seputar kehidupan negeri sakura dari sudut pandang pengalaman saya, agar lebih banyak orang mengerti tentangnya. Keep reading next stories of #Cerita_Sakura ya….
Happy reading ^_^

Im proud of u yenny
ReplyDeleteRaniii... thanks udah mampir kesini. Proud of you, too... makin cantik dengan berhijab ^_^
Delete