"Kenapa Harus S2?"


“Kenapa Harus S2?”

Itu pertanyaan yang dilontarkan oleh beliau. Direktur sebuah Lembaga Pendidikan ternama tingkat provinsi, dan aku menjabat sebagai sekretarisnya. Sekretaris Direktur, sungguh terdengar indah di telinga. Seharusnya aku tak pernah lupa menulisnya di resume Curriculum Vitae bagian pengalaman kerja.

“Eh…. Kenapa, ya?”

Aku tak spontan menjawab. Menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, jujur saja aku bingung harus bilang apa. Pertanyaan ini menjebak sekali, pikirku. Kata yang digunakan itu loh, ‘Harus’ bukan sekedar ‘Mau’. Sepertinya dia tahu sekali kalau aku sudah punya mau, tak ada seorangpun yang mampu mencegah hingga tercapai keinginan itu.

Beliau menunggu jawabanku dengan sabar. Memandangi dengan gaya khasnya yang berwibawa. Aku mendongak melihatnya, saat itu aku sadar jawaban apapun yang akan kuutarakan pasti mampu ditepisnya. Karena sejatinya dia sudah tahu jawaban macam apa yang akan aku sampaikan, ujarku dalam hati. Jengah.

“Ya…. Pengen aja, mumpung anak masih kecil dan baru fresh graduate. Mungkin kedepannya ada peluang menjadi dosen….”, jawabku tak yakin. Capek rasanya memutar otak mencoba mencari jawaban terbaik tapi tak kunjung ketemu. Sudahlah, aku pasrah.

“Kenapa saya mengambil S2 tahun ini, bukan tanpa dasar pertimbangan yang tidak matang….”
Ah, siapa yang tidak kenal beliau di provinsi ini. Terkenal sekali. Lulusan Teknik Sipil Universitas Indonesia, kampus ternama se-Indonesia raya. Di zaman beliau saat itu, masih bisa dihitung jari anak-anak unggulan provinsi yang menuntut ilmu ke universitas grade terbaik, apalagi UI. Beliau kemudian melanjutkan penjelasannya.

“Meskipun saya tahu kalau bidang ilmu yang akan kamu ambil ini linier, tapi apa ngga sayang kalau lulusan Universitas Diponegoro lanjut S2 di Universitas Negeri Gorontalo?”

Plak, saya seperti ditampar di pipi kanan.

“Apalagi bukan beasiswa, harus bayar sendiri kan… yakin mampu biayanya? S2 itu kadang banyak biaya tak terduga untuk penelitian dan ini itunya. Sekelas kamu, saya yakin mampu mendapat beasiswa.”

Plak, kini pipi sebelah kiri yang rasanya ditampar.

Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Merasa kasihan, dia menurunkan nada suaranya.

“Kamu kan tahu, saya sudah lama berkecimpung di bidang pendidikan. Sudah menjadi pembicara di berbagai training HIMPAUDI bertahun-tahun, padahal basic ilmu saya bukan pendidikan. Mungkin benar saya sudah ahli sebagai praktisi, tapi di lapangan, tetap saja masyarakat tetap melihat gelar latar belakang pendidikan seseorang. Kamu siapa bicara begitu soal pendidikan anak? Cuma seorang sarjana Teknik,” ujar beliau menjelaskan.

“Apa kamu S2 karena ingin punya gelar master?”, tanya beliau.

Aku menggeleng lemah. Tak yakin.

“Sudah sejak lama saya mempertimbangkan untuk lanjut S2 di bidang Manajemen Pendidikan ini. Tapi saya selalu ditanya oleh suami, ‘kenapa umi mau sekolah lagi?’, dan saya selalu tidak bisa memberi jawaban. Sama seperti kamu saat ini. Berkali-kali niat itu datang dan pertanyaan yang sama terlontar dari beliau. Berkali-kali……”, cerita beliau sambil matanya menerawang.

“Sampai akhirnya saya bisa menemukan jawaban itu, disaat yang sama banyak pihak terus memaksa saya untuk kuliah lagi. Saya sampaikan ke suami, dan beliau dengan bijak menjawab, ‘kalau begitu silahkan umi lanjut S2”.

Aku menatap wajahnya yang meneduhkan, berusaha menerka-nerka apa yang ingin beliau sampaikan.

“Karena Bu Maya dan Bu Ningsih S2 jadi kamu ingin juga?”, tebak beliau sambil tersenyum.

Aku menggeleng tak yakin. Mungkin iya, jawabku dalam hati.
Ah, ini sih sudah ditampar bolak-balik.
Sakit rasanya.

Beliau meraih tangan kananku, menggenggamnya dalam kedua tangkupan tangannya.

“Carilah jawaban itu. Istikhoroh…. Minta jawaban sama Allah. Kadang kita tidak tahu batas antara keinginan dan kebutuhan. Antara lurusnya niat dan melencengnya tujuan. Antara ibadah mulia dan sekedar hawa nafsu. Menuntut ilmu itu ibadah, jalannya adalah jalan menuju surga. Tapi kalau niatnya salah, maka betapa ruginya peluh dan pikir yang harus dikorbankan demi sekedar gelar”, ujarnya sambil mempererat genggaman tangannya.

Aku diam tak menjawab. Pembicaraan itu terhenti begitu saja. Kesimpulannya ada pada saat suami mengajakku untuk melakukan pembayaran biaya registrasi ulang S2.

“Yuk dek, hari ini sudah batas akhir pembayarannya”, ajak laki-laki kesayanganku.
“Ngga ah, ngga jadi”, ujarku malas.
“Kenapa? Bener nih ga jadi daftar ulang?”
“He-eh”
“Apa gara-gara ngga dikasih izin sama Bu Direktur?”
“Ngga, kok”, ucapku sambil pergi menghindarinya.

Beliau cuma menatap heran. Tapi demi melihatku sungguh-sungguh mengucapkannya, dia tak banyak bertanya lagi. Dia orang yang paling tahu kalau istrinya paling tidak bisa dicegah keinginan atau ketidakinginannya terhadap sesuatu.

Waktu berlalu.

Aku hamil anak kedua, dan semakin menikmati peranku menjadi ibu rumah tangga. Saat itu aku berhenti dari pekerjaanku sebagai guru MTs sekaligus Sekretaris Direktur, berpindah menjadi guru asrama Madrasah Aliyah.

Lalu hamil anak ketiga, disaat yang sama aku lolos penerimaan Calon Aparatur Sipil Negara. Makin jauh dari keinginan ingin lanjut kuliah lagi. Apalagi ilmu di bangku perkuliahan dulu sudah terkubur diantara pikiran resep masakan, tumpukan baju kotor, cucian piring, dan pekerjaan kantor sehari-hari.
Dua tahun kemudian, suami yang bertugas sebagai dosen akan berangkat studi S3. Tak tanggung-tanggung jauhnya, Negeri Sakura. Dia harus berangkat segera, sementara aku masih terikat dengan status abdi negara dan seabreg kewajibannya.

“Pokoknya deadline 6 bulan ya kak, Umar bin Khattab aja menarik pasukan perang dari pertempuran setiap 4 bulan sekali, diganti pasukan yang lain agar bisa ketemu istri dan keluarganya. Pokoknya kakak harus berusaha agar aku bisa nyusul, kalau ngga aku mau berhenti kerja aja biar bisa nyusul kakak kesana”, sambil nangis sesengukan aku meluapkan isi hati. Berkali-kali aku tegaskan tentang hal itu dan jawabnya tetap sama.

“Sabar ya, kita berdoa dan berusaha. InsyaAllah nanti ada jalan keluar”

Dan makin nyesek aja saat silaturahim pamit ke salah seorang Ustad. Beliau bilang,

“Wah 3 tahun disana, ya? Bagaimana ini, apa istri sudah mengizinkan kalau disana ada yang lain yang menemani?”, candanya seraya terkekeh-kekeh.

Aku tersenyum miris. Maksudnya Ustad?, ujarku dalam hati.

Suami ikut tertawa sambil menjawab, “InsyaAllah semoga istri dan anak-anak bisa nyusul, Ustad. Mohon doanya”

“Aamiin… semoga dimudahkan. Tapi kalau tidak bisa nyusul bagaimana?”, celetuknya lagi. Dalam hati, Duuh, Ustad ngga peka ih orang lagi sensi juga. Tapi demi kesopanan, aku masih tersenyum. Walau aku yakin senyumku lebih tampak sepeti seringai. Kalo cuma donat udah kutelan bulat-bulat.

Dan hari kepergian beliau itu adalah dimulainya hari-hari terberatku tanpa suami yang biasa berbagi tugas rumah tangga sehari-hari. Mengurus 3 orang anak sendiri dan harus tetap ngantor, kadang bukan cuma lelah fisik sehari-hari. Tapi juga lahir-batin. Beruntung sekarang ada video call yang bisa langsung tatap-tatapan, supaya terlihat dramatis mata bengkakku yang habis menangis.

Tapi diatas itu semua, ada Allah tempat meminta.

Dan saat itu pula, pertanyaan bertahun-tahun silam kembali menyeruak.
“Kenapa harus S2?”

Ya, aku dapat jawabannya sekarang!
Kenapa aku harus S2? Karena aku harus dekat dengan suamiku! Agar aku bisa menggenapkan baktiku sebagai istri, bukan dengan jauh-jauhan begini.

Dan S2 adalah satu-satunya alasanku bisa menyusulnya kesana. Memboyong anak-anakku serta.
Kembali teringat wajah bijaksana si Ibu Direktur dulu, saat ia berusaha mentransfer pemahaman itu dulu. Dia yang menangis berderai-derai, memelukku erat saat aku berpamitan.

“Aku akan merindukanmu”, bisiknya dalam dekapan eratnya memelukku.
10 Oktober 2016 suami berangkat studi, 10 April 2017 aku dan anak-anak menginjakkan kaki di Kansai Airport. Tepat 6 bulan, duhai Ibu Direktur…. Siapa yang mengaturnya demikian persis?

Terimakasih telah menanyakanku pertanyaan sederhana itu. Pertanyaan yang kurang lebih sama dengan yang ditanyakan oleh professor mata kuliah Research Method,

“What is your objective?”
Apa tujuanmu melakukan penelitian ini?
Why? Kenapa? Apa pentingnya?

Jawaban yang aku temukan, menjadi alasan yang aku suguhkan untuk merayu-Nya. Agar Dia membuka jalan keluar disaat semua jalan terasa buntu untuk keluarga kami bisa berkumpul kembali. Jawaban yang membuatku mengerahkan segenap usaha untuk bisa lolos ujian penerimaan masuk universitas, dan dibiayai bukan dari kantongku sendiri. Jawaban yang setiap kali lelah dan jenuh melanda perjalanan menuntut ilmu, kembali menyadarkan akan tujuan awal kenapa harus terus berlelah melangkah hingga keujungnya.

Wahai para calon ibu yang ingin studi lagi, jangan lupa untuk menemukan jawaban ini.
Tanyakan kedalam hati, untuk tujuan apa ilmu yang dimiliki nanti. Mungkin suatu saat, ijazah hanya tersimpan rapi di lemari karena ibu rumah tangga tugas sehari-hari. Lalu orang disekitar bilang buat apa S2 kalau akhirnya dirumah saja?

Kalau tersirat rasa perih mendengar ocehan itu, bolehlah menilik lagi niatmu dulu. Apakah demi dihargai dulu engkau berlelah-lelah? Apakah demi karir pekerjaan semata? Apakah demi penghasilan yang lebih baik? Apakah demi mendapat pasangan hidup yang bergelar juga, master atau doktor misalnya?

Luruskan dan luaskan niat. Setinggi apapun kita belajar menuntut ilmu, sejatinya kodrat kita adalah menjadi ibu madrasah pertama anak-anak kita. Kita tidak bisa membungkam komentar orang-orang bukan? Tapi kita bisa menata hati untuk tetap bersih terjaga dari niat awalnya. sesungguhnya ikhlasnya niat itu tak butuh pengakuan manusia, cukup ridho Allah saja jaminannya.

Apakah menjadi ibu boleh lanjut studi master dan doktor lagi? Boleh.
Apakah yang bergelar master boleh menjadi ibu (rumah tangga saja)? Boleh saja, kenapa tidak?

Jawabanmu pasti tak sama dengan perempuan lainnya, tapi Allah Maha Tahu alasan syar’i yang kita sampaikan. Bukan sekedar modus. Karena kalau tujuannya baik, maka mudahlah jalannya. Saat selesai studipun, tak mengapa jika tak seorangpun menghargai ijazah kita. Karena kita tau sejatinya untuk siapa ilmu yang tengah kita pelajari saat ini.

Setiap ibu harus menjadi seorang pembelajar, karena dari ibu cerdas lahir generasi yang cerdas pula. Belajar tak harus formal, bisa kepada alam sekitar. Tapi jikapun harus, pastikan tak mengganggu tugas utama sebagai seorang istri dan ibu. Selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula kaum hawa akan terus belajar membangun peradaban.

Selamat belajar, Tiang Negara!

Kagawa, 12 Juni 2018
Pekan hujan menjelang musim panas,

Menulis adalah cara melepas penat diantara tumpukan tugas.
Yenni Mulyati

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Masjid Pertama Kagawa dalam Doa dan Cita

Niat Pulang Kampung - Part 1

Pendidikan Karakter Khas Jepang (Part 2)