Antara Studi dan Keluarga, Pilih Mana?
Sakura い: Antara Studi dan Keluarga, Pilih Mana?
Memang
setiap rumah tangga mempunyai visi, misi dan komitmen yang berbeda-beda antara
satu dan lainnya. Pun, tidak semua langkah komitmen di satu
rumah tangga dapat diaplikasikan di rumah tangga lainnya. Setiap kita adalah yang
paling mengetahui baik buruk pilihan dari sebuah keputusan, dilihat dari
berbagai segi kemanfaatan dan faktor resiko yang ada dalam menjalani kehidupan
berumahtangga.
Pun, ketika saya
menulis apa-apa yang menjadi komitmen rumah tangga kami, belum tentu semua
orang dapat menerimanya. Bisa jadi, beberapa pasangan justru mempunyai prinsip
yang jauh berbeda. Tidak mengapa, asalkan setiap rumah tangga menjalankan hal
prinsip yang telah disepakati dengan pasangan masing-masing, dalam rel tuntutan
syari’at Islam. Yang
menjadi masalah adalah ketika setiap orang mulai mengkritisi kehidupan rumah
tangga orang lain, dan berhenti mengevaluasi
kehidupan rumah tangganya sendiri. Padahal, evaluasi adalah hal penting yang
harus dilakukan konsisten berkala oleh setiap pasangan, karena setiap masa
dalam kehidupan pernikahan selalu mempunyai ujiannya masing-masing.
Mengutip
tulisan Ustad Anis Matta, Lc dalam Serial Cinta:“Begitulah
cinta tersurat di langit kebenaran. Bahwa karena cinta jiwa harus selalu
berujung dengan sentuhan fisik, maka ia berdiri dalam tarikan dua pesona itu:
jiwa dan raga”, sejak awal salah satu prinsip kami adalah selalu hidup berdekatan satu
sama lain. Berdekatan dalam arti tinggal serumah, tidak berjauhan meski ada kemungkinan
bertemu beberapa hari/pekan/bulan sekali.
Bagi kami,
keterikatan jiwa tidak terpisahkan dari keterikatan raga. Menjadi hal prinsip
sejak awal menikah, bahwa kemanapun suami pergi maka saya sebagai istri akan
mengikuti. Hal ini juga yang menjadikan kami mengkondisikan bahwa ketika kami (suami khususnya
yang berprofesi sebagai dosen) akan mengambil studi S3, saya harus ikut. Maka
setiap kali kami mendiskusikan peluang studi atau beasiswa dari sebuah negara
atau instansi, kajian ini menjadi topik yang mengikutinya. Apakah ada
kemungkinan istri dan anak-anak ikut serta?
Sebelumnya, saya ingin mengutip beberapa
cara memahami realitas keterpisahan suami istri yang disampaikan oleh Ustad
Cahyadi Takariawan, seorang penulis dan konsultan rumah tangga. Pertama,
keterpisahan harus dipahami sebagai keterpaksaan. Apapun alasannya (pekerjaan
atau menuntut ilmu), idealnya suami dan istri tinggal bersama dalam satu rumah
dengan anak-anak. Jangan beranggapan bahwa terpisahnya suami dengan istri
adalah kelaziman. Keterpisahan bukanlah
pilihan ideal yang disengaja, namun merupakan keterpaksaan karena adanya
tuntutan kondisi yang sulit dihindari. Apabila menganggap terpisah adalah
kelaziman, maka akan berdampak tidak memiliki keinginan dan proyeksi untuk
berkumpul bersama keluarga.
Kedua, harus ada batas waktu yang jelas.
Jika berpisah tempat antara suami dan isteri tanpa
memberikan definisi serta batasan yang jelas batas waktunya, akan menimbulkan
suasana ketidakpastian. Ada suasana menggantung tanpa kejelasan, bagaimana
status pernikahan dan keluarga yang mereka bangun. Jika sudah memiliki anak,
akan membuat jarak psikologis yang semakin besar akibat berpisah lama dengan
anak tanpa ada kejelasan kapan bisa berkumpul bersama.
Ketiga, harus ada upaya
bertemu. Jika terpisah dalam waktu
yang lama, harus ada upaya untuk tetap bertemu dalam rentang waktu tertentu.
Misalnya setiap sebulan atau dua bulan sekali suami pulang menengok isteri,
atau isteri yang menengok suami. Jangan sampai terpisah jarak dan waktu yang
sangat lama, tanpa kejelasan, dan tanpa upaya untuk berjumpa.
Demikian 3 hal yang saya kutip dari beliau tentang
keterpisahan antara suami dan istri. Bagaimanapun, bentuk ideal berumah tangga
haruslah kita upayakan. Demikian yang menjadi
komitmen rumah tangga kami. Berhubung masa menempuh studi jelas (minimal 3
tahun untuk doktoral) dan tempatnya juga
lintas negara, maka kecil kemungkinan untuk sering bertemu. Selain izin dari
kuliah atau pekerjaan, biaya juga menjadi kendala lainnya jika upaya bertemu
dilakukan sesering mungkin, apalagi jika harus melibatkan anak-anak.
Belajar
juga dari kisah Umar bin Khattab ra. – yang sangat terkenal
di kisah sejarah bahwa beliau rajin keliling Madinah sejak menjabat sebagai
khalifah- saat beliau mendengar rintih kerinduan seorang wanita terhadap
suaminya yang sedang bertugas di medan perang. Setelah mencari tahu keberadaan
suami sang wanita tersebut, beliau menulis surat menyuruh sang suami pulang
untuk menemui istrinya. Kemudian beliau ra. bertanya kepada anaknya Hafshah,
“Berapa lamakah seorang perempuan tahan berpisah dengan suaminya?”
Kisah ini menjadi rujukan beberapa
ulama fiqh dalam mengambil mazhab terkait berapa lama batas seorang suami
berjauhan dengan istrinya. Dalam buku Manaqib Umar Bin Khattab karya Ibnul
Jauzi disebutkan, bahwa Hafshah putri sang
khalifah menjawab, “Bisa sebulan, dua bulan atau tiga bulan. Setelah empat
bulan ia tidak akan mampu lagi bersabar. Riwayat lain menyebutkan “Lima bulan,
enam bulan.” Maka sejak saat itu, sang khalifah Umar bin Khatthab radhiyallaahu ‘anhu menetapkan jangka
waktu itu sebagai ukuran lamanya pengiriman pasukan ke medan perang.
Termasuk halnya dalam urusan menempuh studi lanjut,
jangan jadikan pertanyaan “pilih mana studi atau keluarga?” sebagai bentuk
kontradiksi. Karena banyak pasangan suami istri lainnya yang telah membuktikan,
bahwa keluarga tidak perlu menjadi korban karena salah seorang orang tua
melanjutkan studi. Bahkan, dengan manajemen yang baik dan saling mendukung satu
sama lain, banyak suami istri yang sukses menyelesaikan studi bersamaan atau
bergantian tanpa menelantarkan anak-anak mereka.
Hal yang harus diingat - selain pasangan (istri/suami)
- anak-anak juga masuk dalam hitungan. Keluarga bukan hanya istri, tapi juga
amanah Allah SWT berupa buah hati. Jika masih 1 orang anak, mungkin masih
mudah. Bagaimana jika 2 atau 3? Bagi kami, kedudukan mereka sama semua. Anak
pertama yang sudah cukup mandiri atau anak bungsu bayi yang masih sangat
merepotkan punya hak yang sama untuk dekat dengan orang tua mereka.
Kadang, survey kecil-kecilan kami lakukan kepada
pasangan yang salah satunya (biasanya ayah) mengambil studi dan dampaknya
kepada anak-anak. Di usia berapa anak lebih siap ditinggal studi oleh
orangtuanya, dan memberikan dampak mental yang paling tidak berarti?
Ketika anak-anak sudah diatas usia SD (SMP ataupun
SMA), kebanyakan sudah memiliki persepsi tentang dunianya sendiri. Mereka sudah
bisa berpendapat dan memilih, apakah akan tetap tinggal atau mengikuti tempat
studi orangtuanya. Kadang kenyamanan akan pertemanan dan lingkungan sekolah,
menjadi pertimbangan mereka untuk memilih tetap tinggal dan enggan diajak
serta. Selain itu, tempat yang dituju biasanya (khususnya Jepang) memberikan
tunjangan pendidikan hanya sampai anak usia selesai SD. Dengan kata lain, biaya
yang dikeluarkan akan lebih besar bagi golongan usia ini.
Anak-anak diusia ini justru, lebih banyak membutuhkan
pendampingan orangtua dibanding masa SD. Mereka telah akil baligh, menjalani
masa pubertas, dan mulai melakukan apa yang disebut sebagai “pencarian jati
diri”. Masa peralihan dari kanak-kanak menuju remaja, adalah masa paling rawan
tanpa pendampingan dari ayah dan ibu. Apalagi jika salah satu dari mereka
tengah sibuk dengan dunianya sendiri – masa studi yang menyita waktu dan
pikiran – bahkan lebih parah jika tempat studi berjauhan dari tempat tinggal sang
anak.
Kesimpulan mudahnya, ambillah studi ketika anak masih
usia balita atau dalam masa menjadi siswa SD (13 tahun kebawah). Pun, rata-rata
tawaran beasiswa mensyaratkan batas usia tertentu bagi calon pendaftar.
Misalnya, maksimal usia 30 tahun untuk program master dan 35 tahun untuk
program doktoral. Jadi, semakin cepat mengambil studi lebih lanjut maka lebih
banyak peluang beasiswa terbuka dari segi terpenuhinya syarat usia.
Tapi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah mereka juga
akan ikut serta atau ditinggal di tanah air saja, dengan kehidupan yang normal
tanpa harus melewati proses adaptasi lingkungan baru dan tetek-bengek kerepotan
Ayah Bunda dengan membawa anak-anak kecil ini?
Jika mengikuti keinginan orang tua kami (kakek
neneknya anak-anak), sudah sejak lama mereka meminta salah seorang cucunya
untuk menemani mereka di masa tua. Dengan kondisi orangtua di Kepulauan Riau
dan mertua di Pulau Jawa yang sama-sama request
hal yang sama, pada dasarnya mudah saja bagi kami mengirim mereka untuk
dititipkan sejak lama. Kami sebagai orangtua, cukup mengirim biaya bulanan dan
menanyakan kabar, serta datang menjenguk sewaktu-waktu. Lebih mudah, bukan?
Apalagi ketika akan berangkat studi ke luar negeri, jauh lebih mudah menitipkan
mereka kepada kakek-neneknya ketimbang berjibaku dengan kerepotan memboyong
mereka. Toh, mereka masih kecil dan belum bisa banyak protes.
Tapi bagaimana jika kita yang ada dalam posisi mereka
sebagai anak-anak? Ingat, mereka mungkin belum bisa berpendapat. Tapi sejak
lahir mereka sudah bisa merasakan. Meski mereka berkata ‘ya’ dan orangtua
berkata ‘anak Ayah/Bunda pintar, sudah mengerti kalau Ayah/Bunda mau belajar
lagi’, namun apakah yang sebenarnya ada dalam hati-hati mereka yang masih
murni?
Saya yakin mereka merasakan kesedihan yang sama
sebagaimana orang dewasa merasa, hanya saja mereka belum bisa mengungkapkannya.
Sedihnya lagi, perpisahan itu berlangsung bukan satu dua hari saja. Ratusan
hingga ribuan hari lamanya. Dan kesedihan itu akan semakin mengakar, entah akan
menjelma menjadi “gunung es” apa dalam pikirannya terhadap orangtuanya. Gunung
es yang sulit ditebak isinya, hanya permukaannya terlihat baik-baik saja. Dan
mereka akan memendam kenangan “ditinggalkan” itu hingga dewasa.
Jadi Ayah Bunda yang ingin melanjutkan studi, jangan
jadikan pertanyaan ini sebagai kontradiksi. Suami bisa tetap berdekatan dengan
istri, dan anak-anak tetap bisa menikmati kehangatan pelukan kedua orangtuanya
setiap hari dengan ikut serta. Bukan hanya anak pertama, tapi semuanya!
Lalu, bagaimana caranya?
Kita semua pasti sudah tahu, bahwa kesalahan dari kata
“tidak bisa” adalah karena sejak awal sudah berpikir bahwa “akan tidak bisa”.
Lalu meniatkannya, memikirkannya, dan tidak melakukan apa-apa untuk
mewujudkannya. Hanya itu saja kuncinya. Bukankah Allah SWT sudah menjanjikan,
bahwa akan selalu ada jalan keluar bagi orang-orang beriman yang bertawakkal?
“.....Barangsiapa yang
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia
memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa
bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah
mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu”. (Q.S. Ath-Thalaq: 2-3)
Jadi, cukup niatkan sejak awal bahwa keberangkatan
studi kita akan mengajak istri dan anak-anak. InsyaAllah atas doa dan usaha
yang benar serta izin Allah, keinginan itu pasti akan ada kemudahan jalan
keluarnya.
Nah, apa saja keuntungan mengajak anak-anak disamping
kerepotan dan tambahan biaya pastinya?
Dengan mengajak serta anak-anak, berarti sebagai
orangtua kita akan terus mendampingi secara langsung proses tumbuh kembangnya.
Dengan mengajak serta anak-anak, kita memberikan kesempatan besar kepada mereka
untuk melihat luasnya dunia sedari kecil. Dengan mengajak serta anak-anak,
wawasan keberagaman, toleransi, mandiri dan banyak hal baik lainnya akan
tertanam hingga dewasa.
Selain itu, tahukah anda kalau mengajak serta
anak-anak juga menjadi sarana hiburan yang paling menyenangkan? Ya, akan sangat
jauh membahagiakan bisa memeluk langsung tubuh kecilnya, bercengkerama dan
berbagi cerita kepenatan aktivitas rumah, sekolah dan perkuliahan, dibanding video call keluarga setiap hari meski
berjam-jam lamanya.
Benar anda akan bisa mendengar suara dan ekspresi
wajahnya seakan berada langsung didepan mereka, tapi anda tidak akan bisa
mengajak menikmati kuliner sekitar atau jalan-jalan di akhir pekan, menonton
festival bersama, menyentuh salju atau bunga sakura secara langsung. Benar adanya,
tetap akan bisa anda lakukan saat anda pulang kampung atau mengajak keluarga
mengunjungi negara tempat anda studi, tapi percayalah, rasanya tidak akan sama.
Seorang teman saya berkata di tahun kedua perkuliahan
doktoralnya, bahwa penyesalan terbesar beliau menempuh studi di negeri sakura
adalah tidak mengajak istri dan anak-anaknya serta. Padahal tahun pertama
beliau pulang saat lebaran, dan di tahun kedua anak istrinya datang berkunjung.
Tapi tetap saja, ungkapan penyesalan itu kerap beliau lontarkan. Dan ditambah
dengan beban kuliah tahun terakhir yang semakin menggunung, penyesalan tadi
justru menjadi beban tambahan yang semakin menyesakkan.
Jadi, niatkan saja sejak awal. Masukkan dalam
perencanaan untuk mengajak serta keluarga anda menempuh studi, mereka adalah
penyemangat luarbiasa yang tak ternilai harganya saat keluarga bisa bersama,
jiwa dan raga.
Karena bagi Allah tidak ada yang sulit jika Dia
berkehendak. Just believe!

Comments
Post a Comment