"Sensei, I'm hungry...."

Hari ini si sulung kembali ke sekolah, mengantar sekumpulan PR musim panasnya yang akhirnya selesai juga. Menjelang siang ia akan kembali, karena libur lanjut 1 pekan lagi, baru benar-benar aktif pembelajaran di semester baru. Melepasnya berangkat pagi ini, mengingatkan kembali akan pengalaman hari pertamanya di sekolah.

Ya, ada "sesuatu" yang terjadi di hari pertamanya.

Hari itu, saya memasak spesial untuk bento pertama anak-anak. Spesial versi saya itu hanya menu nasi, sayur sop jamur, telur, cemilan roti selai, dan beberapa butir anggur...hanya saja dengan sedikit hiasan nori dan bumbu cinta pastinya (hahaha). Pagi-pagi sekali si sulung sudah diminta sarapan sepotong roti dan minum susu, selebihnya menunggu waktu berangkat pukul 7.00 sambil foto-foto dengan emaknya.

Selepas mengantarnya ke sekolah, saya mempersiapkan bekal putri kedua dengan roti dan buah saja. Sebenarnya, sudah ada pemberitahuan dari pihak sekolah youchien (TK) bahwa hari itu tidak perlu membawa bento. Tapi saya yang sedang exciting dengan persiapan anak sekolah, sekaligus berpikir, "siapa tau nih anak lapar pengen ngemil diantara jam 9.00- 11.30 nanti"... Memaksa ayahnya membawa saja bekal itu. Dan diantarlah si anak ke sekolahnya pagi itu pukul 8.30.

Sepulang mengantar, ayah datang menyodorkan kotak bento dan bilang, "nih dikembalikan sama gurunya. Kan sudah dibilang ga usah bawa bekal". Akhirnya saya yang makan roti dan buahnya, sambil berpikir dengan firasat aneh karena teringat si sulung.

Benar saja, sore hari temannya pulang tanpa anak saya.

"Raisa dimana?"
"Eh... tadi katanya pulang sendiri nanti", jawab teman sekelasnya sekaligus tetangga apartemen.

Agak cemas saya menunggu, pukul 16.30 Raisa datang bersama ayahnya. Tidak sabar saya menunggu apa yang terjadi, kok bisa mereka pulang bareng.

"Tadi kepala sekolah nelfon Professor (beliau yang baik hati dan suka menolong, red) dan meminta untuk datang. Jadi ayah dan Prof datang ke sekolah dan bicara dengan kepala sekolah dan guru kelasnya. Ternyata Raisa itu tadi minta makan pas belum jadwal makan siang. Makanya dijelasin sama pihak sekolah soal peraturan disana..."

Saya mendengarkan beliau bertutur sambil mengecek isi tas sekolah dan kotak bento. Semua masih utuh, hanya sayur yang berkurang setengah porsi.

"Katanya kamu laper Raisa, kok makanannya ga dihabisin?"
"Soalnya aku bingung makannya gimana dan waktu makannya cepet banget"
"Trus air minummu cuma berkurang seteguk begini, masih penuh...memang ga minum seharian?"
"Soalnya aku sudah kenyang minum susu"

Saya pikir anak ini alasan saja, tapi sambil mencerna satu-persatu rentetan peristiwa sambil bertanya lebih detail kepada Raisa.

"Emang pas istirahat pertama kamu ga bilang sama sensei kalau kamu laper?"
"Udah..."
"Emang kamu bilang gimana?"
(Karena saya tahu dia belum bisa berbahasa jepang kecuali standar perkenalan diri yang saya ajarkan)

"Sensei, i'm hungry...", ucapnya lirih.

Well, understandable enough.

"Trus senseimu bilang apa?"
"Ah, Dame...dame...no..." (tidak boleh)

Sejenak saya tertegun.

"Trus kenapa kamu ga minum aja, emang tempat minumnya ga deket kamu?"
"Tempat minum ditaruh diluar"

"Gurunya bilang, anak-anak hanya boleh makan di jam makan siang sekitar 12.15. Jadi Raisa tidak diizinkan makan di jam istirahat pertama. Makanya disarankan supaya sarapan jam 6.45 dekat jam berangkat, dan usahakan kenyang. Karena makan selanjutnya ya pas makan siang. Trus pas makan siang juga ada waktunya, sampai jam 13.00. Karena kadang menu dari sekolah roti atau makanan yang durasi makannya cepat, jadi Raisa harus menyesuaikan kecepatan makannya dengan menu yang dibawanya sendiri", ayah menjelaskan.

Sampai disini saya mengerti.

"Emang ngga ada kantin?"
"Ngga"
"Jualan minuman?"
"Ngga ada, makanya bawa minum secukupnya dari rumah masing-masing. Dan setiap hari Raisa ada jatah sebotol susu segar di jam makan siang".

Saya masih nyolot, nanya ini itu ke ayahnya. Bagaimana kalau Raisa ga kuat kalau ga ngemil, dia kan ga biasa laper selama itu... Apalagi pagi jalan kaki lanjut olahraga jadwalnya setiap hari... Bagaimana kalau...

"Ini Jepang dek, memang peraturannya begitu. Kita coba saja apa Raisa bisa", jawab suami mematahkan kebawelan saya. Akhirnya saya stop komplain, meski masih ngedumel sendiri.

"Hebat banget anak-anak Jepang istirahat ngga jajan... Pasti siangnya laper banget"

****

Esoknya, dan esoknya, dan esok berikutnya...

Ternyata Raisa juga bisa melakukan hal yang sama. Bahkan di hari kedua itu saya bertanya kepadanya sepulang sekolah, apakah hari itu merasa lapar di jam istirahat pertama? Jawabnya tidak.

Ternyata jajan/ngemil antara pukul 9.30-10.00 seperti biasanya anak sekolah di Indonesia, bukan sebuah keharusan. Ternyata tubuh bisa di kondisikan jam biologis "waktu makan"nya setelah terbiasa. Diantara jeda, hanya diisi minum air saja. Ternyata bukan anak Jepang yang hebat, it just a simple little good habit. Semua anak ternyata bisa dibiasakan untuk "having no snack time".

Ya, semua anak sekolah SD sampai SMA di Jepang rata-rata tidak punya kantin sekolah. Yang namanya kantin ya tempat masak untuk makan siang yang akan dibagi saat jam makan siang itu. Makanan yang dijemput di kantin sekolah, akan dibagi ke setiap kelas dengan petugas yang berbeda per hari sesuai jadwal. Siswa yang membawa bento jumlahnya sedikit, setiap pagi kotak bento dititip di ruang guru (kadang dimasukkan di mesin penghangat agar makanan tetap segar, dan dijemput lagi oleh masing-masing anak saat akan makan siang). Mereka akan makan serentak setelah semua siap dengan makanan masing-masing diatas meja.

Dan itu yang membuat Raisa "bingung" dengan menu bento di hari pertama. Sepertinya dia sibuk memperhatikan cara petugas membagikan makanan ke semua teman, lalu makan dengan lahapnya. Sementara ia sibuk tertegun dengan lapar yang tiba-tiba hilang demi melihat pemandangan di hadapannya.

Saya bisa membayangkan yang terjadi disana.

Semua anak Jepang makan dengan lahapnya. Kalau di Indonesia, (mohon maaf) sebutannya rakus.

Hari saat kami ditraktir makan udon oleh Professor, saya mendapati cara makan yang tidak lazim dibanding tanah air. Setelah mempersilahkan dengan ramah dan bilang "Itadakimasu...", beliau menyeruput mie udon itu sekeras-kerasnya.

"Sluuuuurrrrp....". Keras sekali.

Saya tertegun memandang beliau makan. Untung saja suami buru-buru menjelaskan, "orang Jepang kalau makan bunyi, dek... Itu artinya mereka menghargai masakannya. Penjual yang dengar juga akan senang, berarti masakannya enak. Kalau ngga sampai berbunyi mulutnya, berarti ngga enak. Ngga sopan..."

Saya mengangguk-angguk sambil memperhatikan sekeliling. Benar saja, pengunjung lainnya seperti berlomba-lomba bersuara saat makan mie udon yang diangkat tinggi-tinggi, ditiup lalu diseruput dengan cepat. Tapi saya tetap makan versi orang Indonesia makan- sampai saat ini- walau dianggap tak sopan oleh sang pemilik warung makan. Biar saja, saya takut tiba-tiba tersedak di percobaan pertama.

Mungkin itu juga dibenak Raisa saat melihat teman-temannya makan siang. Ini pada laper banget atau lagi lomba makan, sih?

Fyi, kalau makan disini.... Jangan heran dengan porsi "wow" yang disantap pengunjung. Bahkan perempuan sekalipun, jika memesan makanan pasti porsi gede udon plus beberapa gorengan. Kalau bapak-bapak malah plus onigiri beberapa potong. Kami sering curi-curi pandang, lihat...lihat...banyak banget yang dibawa di nampannya... Emang bisa habis dimakan sendiri? Daaan... Pasti pada disikat habis, dalam tempo yang singkat. Setelah makan segera pergi tanpa banyak ngobrol dengan teman sebelah. Beda dengan Indonesia, makan sambil bercengkerama dan setelahnya ngobrol lagi sampe "nunggu nasinya turun".

Tapi alasan paling mendasar sebenarnya, karena kebanyakan orang memang makan pada waktunya, jadi warung makan pun hanya buka pada jam makan saja. Contohnya toko udon, hanya buka menjelang tengah hari dan tutup sekitar 13.30. Dalam selang waktu tersebut, banyak orang datang silih berganti untuk makan. Makan dengan cepat setelah itu pergi. Jadi makanan akan habis dalam waktu cepat. Jangan harap disini bisa makan siang diluar waktu makan, sudah tutup karena kehabisan. Begitu juga dengan makan malam, hanya buka menjelang sore hingga pukul 20.00 saja. Kebanyakan polanya demikian.

Mungkin ada beberapa yang standby lebih lama, tapi jarang sekali. Apalagi seperti warteg yang buka 24 jam, tidak ada yang demikian. Beda ya dengan tanah air yang sampai tengah malam masih banyak jajanan buka dari yang ringan sampe berat, kaya wedang ronde, saraba, martabak, bakso, sate, nasi goreng, dll.. (duh, jadi pengen). Disini warung 24 jam hanya konbini saja, seperti 7 Eleven, Family mart, Lawson yang menjual onigiri, roti, sushi, dan snack standar.

Tampaknya pola makan yang diterapkan di bangku pendidikan membuat orang-orang disini terbiasa tidak ngemil diantara jam sarapan dan makan siang. Itu membuat rata-rata orang Jepang memiliki berat badan ideal. Rata-rata loh ya... Bukan berarti yang gendut tidak ada. Bisa di cek di google BB rata2 japanese people, juga rerata usia mereka bertahan hidup. Disini, banyak sekali lansia yang masih sehat, melakukan semua pekerjaan sendiri. Banyak kakek nenek 70 tahun keatas yang masih menyetir mobil (mungkin SIMnya seumur hidup, karena biaya pembuatan SIM mahal sekali sekitaran 30juta rupiah), belanja, jalan-jalan dengan anjingnya, bersih-bersih pekarangan rumah, dll.

Pola makan yang sehat berhubungan sekali dengan berat badan ideal dan rerata usia hidup yang panjang. Mereka suka makan makanan segar, membeli hanya secukupnya untuk dimakan karena tidak akan disimpan lama. Ukuran dapur juga rata-rata kecil karena tidak butuh banyak ruang untuk persediaan makanan. Jika jam 18.00 keatas, banyak makanan supermarket yang di sale setengah harga seperti daging, buah potong, dll karena dianggap sudah tidak segar lagi.

Contohnya susu dan jus buah segar, jarang sekali didapati produk segar di jual di Indonesia. Disini, banyak merk dan varian rasa bersaing di pasaran. Saya sebut "segar", karena tanggal kadaluarsa tertera hanya sekitar 7-14 hari. Untuk susu, kebanyakan susu segar. Susu bubuk jarang sekali itupun hanya khusus bayi. Jus buah banyak pilihan, mulai buah 1 rasa hingga banyak campuran buah. Sampai tiap butir telur pun pasti di cap tanggal expired datenya. Jadi setiap memilih telur, pembeli akan tahu bahwa produk tersebut fresh from poultry. Dijamin, kalau melihat isi kuningnya pas buka, warnanya oranye segar dan putih telurnya jernih dan kental. Bikin gemes...

Sebenarnya banyak jenis makanan dan cemilan dijual di pasaran. Gorengan juga ada, biasanya dilapisi tepung. Isinya bisa sayuran, udang, cumi, terong, ikan, dll. Sayuran matang seperti warteg juga dijual di supermarket tertentu. Kalau warung makan, jangan ditanya variannya banyak sekali, hanya saja mereka tertutup sekali. Bahkan bulan Ramadhan disini tidak akan tergoda dengan aroma sedap masakan. Semua pintu tertutup rapat, jadi aroma tidak akan tercium walau berjalan di koridor yang kanan kirinya adalah warung makan. Tapi coba saja masuk kedalam, aroma sedapnyaaa... Memenuhi seluruh ruangan karena biasanya proses masak dilakukan saat pembeli memesan menu.

Nah, kalau saya sering cerita soal udon, udon dan udon... Itu karena udon adalah salah satu jenis makanan halal yang bisa disantap di Jepang. Beruntungnya, Kagawa prefecture (dulu namanya Sanuki) adalah kota udon. Sanuki udon adalah udon terkenalnya Jepang, asalnya ya dari tempat saya tinggal. Bahkan ada pameo yang bilang, "there are more udon shop than traffic light in Sanuki". Hahaha... Bener juga sih, toko udon ada dimana-mana. Kapan-kapan ya bahas udon lebih detailnya :)

Selain udon, tempat makan yang bisa dikunjungi ya sushi, atau masakan Pakistan, Bangladesh, juga Turki. Sesekali bolehlah, tapi untuk tempat langganan jajan tentu saja tidak karena agak beda selera, disamping harga yang lumayan kalau jajan diluar. Jadilah memasak menjadi agenda wajib di rumah. Tidak ada pilihan untuk malas memasak, karena tidak masak berarti hanya akan makan telur dadar atau nugget frozen (khusus dari toko halal). Untuk beli daging ayam/sapi, harus di toko tertentu yang cukup jauh atau di supermarket dengan kode 21 (dipotong oleh karyawan pemotongan hewan yang muslim), dengan jumlah terbatas.

Selama libur musim panas, rasanya kebanyakan waktu berkutat di dapur. Dan pertanyaan yang sering diajukan anak-anak adalah,

"Bunda, ngga ada makanan?"

Dan terpaksa googling untuk bikin sempol ayam, cendol, donat, bolu, cimol, dan sejenisnya untuk dikunyah diantara waktu makan. Memang ya.. Kudapan buat dicemil tuh sudah terprogram di mindset. Enaknya, ngunyah apa ya???

Ah, kalau ngomongin makanan ngga akan selesai. Bukan bermaksud lebay, karena dimana-mana resiko hidup merantau ya demikian. Masih banyak rekan lainnya seangkatan beasiswa suami, yang tersebar di seluruh pelosok bumi pun merasakan hal serupa. Hanya ingin menyemangati diri, bahwa sesungguhnya selama ini sebelumnya saya hidup di tempat yang luarbiasa kemudahan memperoleh makanan enak. Kuliner Indonesia, oh... tiada duanya!

Hargailah setiap makanan dihadapan anda. Karena diluar sana, banyak saudara yang merindukannya, bahkan hanya untuk sepotong tempe goreng atau tumis kangkung yang tergolong langka.

If i can tell you....
Bersyukurlah, karena sesungguhnya kalian disana benar-benar berada di surga dunia.

Abu Hurairah ra. mengatakan, Rasulullah saw bersabda, “Seorang hamba berkata, hartaku, hartaku, hartaku. Padahal hartanya yang sesungguhnya hanya tiga macam: apa yang dimakan lalu habis, apa yang yang dipakai lalu lusuh (rusak), dan apa yang disedekahkannya lalu tersimpan (untuk akhirat). Selain yang ketiga macam itu lenyap atau ditinggalkannya (warisan) bagi orang lain.” (HR. Muslim).



Comments

Popular posts from this blog

Masjid Pertama Kagawa dalam Doa dan Cita

Niat Pulang Kampung - Part 1

Pendidikan Karakter Khas Jepang (Part 2)