Syukur, Kunci Rezeki Tumbuh Subur
Alhamdulillaah saya sudah berkumpul lagi bersama suami. Sebuah kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh pasangan yang pernah hidup berjauhan, lalu dipersatukan kembali. Dan kembali bersatunya kami kali ini, mengurai benang kusut berbagai permasalahan hidup kami.
Saya seorang PNS yang baru pengalihan status 1 Januari tahun ini, 7 Maret sudah Allah izinkan keluar surat Tugas Belajar. Perjuangan yang panjang, dan penuh doa munajat kepadaNya agar diberikan cara bisa menyusul suami yang sedang tugas belajar doktoral di negeri sakura. Alhamdulillaah dalam rentang waktu 6 bulan berjauhan dengan suami, saya mengenal Pola Pertolongan Allah dan orang-orang luarbiasa. Semua ilmu yang disampaikan adalah materi yang sudah saya tahu, tapi di PPA saya baru naik kelas menjadi faham. Ternyata beda antara tahu dan faham, sama seperti orang yang sudah berilmu tapi belum mengamalkan. Karena kefahaman akan melahirkan tindakan, bukan semata di pikiran.
Saya ingat private class PPA perdana, saat tiba di bagian akhir BGA diminta untuk memberikan sedekah barang yang paling berat untuk diberikan. Bukankah dalam AlQur’an Surah Ali-Imran: 92 disampaikan, “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan harta yang kamu cintai...” Saat itu uang terakhir saya 50ribu, memang satu-satunya karena sudah untuk pembayaran masuk kelas PPA di bagian registrasi. Tapi ada satu benda yang paling saya sayangi, karena itu adalah pemberian suami dari beasiswa pertamanya. Itu adalah jam tangan mahal pertama kali yang pernah saya miliki.
Saya menangis saat menyerahkannya ke kotak infaq, saya pegang erat-erat di dada dan saya berdoa, “Ya Allah... saya sayang jam ini karena mengingatkan saya pada suami, tapi saya ingin dekat bukan dengan benda ini, tapi suami hamba. Yaa Allah, mudahkan hamba kembali berkumpul dengannya.”
Selesai kelas PPA saya sering berdiskusi melalui internet dengan suami. Tentang kesalahan prioritas keluarga kami dalam hidup ini. Jujur saja, sebagaimana PNS kebanyakan, SK suami sudah tergadai di bank. Apa yang kami inginkan dari dunia, Allah berikan. Tapi tanpa rasa tenang. Memang benar riba itu ibarat berperang dengan Allah. Dulu yang saya yakini hal ini adalah syubhat, tapi PPA mengajarkan itu haram. Saya berusaha meyakinkan diri, karena kebanyakan demikian meski judulnya syariah, bukan?
Saat akan berangkat saya tidak punya dana, karena beasiswa suami baru akan cair bulan berikutnya. Dengan SK PNS saya bisa dapat ratusan juta, cukup untuk membeli tiket 4 orang, persiapan berangkat, membayar ini itu. Tapi maju mundur diskusi yang alot dengan suami, Bismillah kami berazzam tidak akan membuka akad riba yang baru lagi. Keputusan selanjutnya adalah menjual semua barang-barang dirumah meski dengan harga murah. MasyaAllah, nominalnya kalau dihitung tidak cukup dengan biaya hidup saya dan anak-anak perjalanan ke Jakarta, Cilacap, balik lagi Makassar... tapi setiap kali butuh ada saja rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Tidak lebih memang, tapi selalu cukup. Kalau sudah cukup, apalagi yang kurang? Itukah yang namanya berkah?
Singkat cerita, sampai 2 kali kelas PPA berikutnya, saya memberikan testimoni dan berpamitan dengan teman-teman semua. Saya berangkat dengan 3 orang anak, usia 6,5tahun, 4,5tahun dan 15bulan, dengan 7buah koper yang beratnya lebih dari 100kg. Karena menyesuaikan budget anggaran, perjalanan hampir 17 jam dengan transit Jakarta-Singapore-Taipei-Osaka. Meski tidak bisa dikatakan tidak sulit, Alhamdulillaah perjalanan panjang pun banyak kemudahan. Dan semua barang tiba di apato (apartemen) dengan selamat pula, tanpa saya harus mengangkatnya (karena Allah datangkan mahasiswa-mahasiswa lain yang membantu).
Oya, suami berangkat 10 Oktober 2016, dan beasiswanya akan memberikan tunjangan keluarga 6bulan kemudian. Saat itu tidak terpikir bagaimana saya bisa menyusul, karena status masih CPNS dan melepaskan pekerjaan ini berarti menyakiti hati orangtua dan mertua. "InsyaAllah ada jalan dek...sabar ya”, kata suami saat itu. Dan qadarullaah saya tiba di Jepang tepat 6 bulan kemudian, 10 April 2017. Siapa yang mengaturnya? ALLAH.
Perpisahan kami membuat saya banyak merenung. Betapa bisa berkumpul dengan keluarga adalah salah satu nikmat terbesar, meski zaman sudah canggih dengan fasilitas video call, tetap saja berbeda dengan bertemu langsung. Selain itu saya jadi instropeksi diri, betapa saya banyak tidak bersyukur selama ini. Memiliki suami yang mau berbagi kerepotan mengurus rumah tangga, tapi belum melayani beliau sepenuhnya. Disitu saya beristighfar, memohon diberi kesempatan dekat kembali agar bisa memperbaiki yang kurang sempurna selama ini.
Alhamdulillah disini Allah mengganti barang-barang kebutuhan dan kendaraan, secara gratis. Bahkan lebih baik dari rumah sebelumnya. Meskipun ukuran apato kecil, tapi lengkap dengan AC, shower mandi bathtub air panas, kitchen set, microwave...fasilitas yang baru saya miliki sekarang. Oya, jam tangan saya dibelikan lagi oleh suami saat bazar barang bekas. MasyaAllah, Merknya sama Casio Baby G seperti dulu, dengan spec yang sama, hanya 500yen (setara 70ribu rupiah). Ah, barang bekas doang apa enaknya? Hehe, beda kalau yang make beda pemahaman. Jamnya menunjuk waktu yang sama dengan jam yang saja beli di mall jutaan harganya, dan ketulusan kasih sayang yang membelikan juga sama. Ciee...
Nah, disinilah letak kesalahan sebagian besar orang. Bahagia kalau punya mobil baru keluaran dealer, padahal yang bekas juga bisa mengantar ke tujuan yang sama? Saya bukan menyatakan seorang muslim tidak boleh kaya dan menunjukkan kesyukuran dengan barang-barang bagus, ketika mampu kenapa engga? Yang penting luaskan niat. Yang salah adalah ketika menghalalkan segala cara untuk mencapainya, salah satunya berurusan dengan riba. Kesimpulan yang saya dan suami dapatkan adalah, ketidakberkahan rizki kami selama ini adalah karena riba. Pengen punya mobil baru, kesampean.. tapi Allah ambil lagi. Sekarang goal terdekat adalah melunasi hutang-hutang dan yang paling berat adalah menyelamatkan kembali SK yang tergadai. Alhamdulillah sudah terlihat alokasi untuk menyelesaikannya satu-persatu. Memang butuh kesabaran, tapi insyaAllah akan Allah mudahkan.
Jadi kuncinya adalah bersyukur, tak mesti ketika dapat yang banyak. Bahkan sepersekian dari kata sedikit, bersyukurlah. Misal 1 dari 100 hutang kita lunasi, bersyukurlah. Maka 99 sisanya akan Allah percepat pelunasannya. Dari rezeki yang subur, dari arah yang tak disangka-sangka. Kalau masih menunda syukur, siapkan saja stok sabar yang banyak. Bukankah 2 hal menakjubkan dari seorang muslim adalah, ketika diberi kenikmatan dia bersyukur, dan ketika diberi ujian dia bersabar? Jadi siklusnya cuma 2, syukur dan sabar. Karena ditengah-tengahnya, dilarang dalam Al-Quran: “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah”. Jadi kalau sudah kehabisan stok sabar saking banyaknya ujian dan kesempitan hidup, balik aja kepada bersyukur. Apa yang mau disyukuri, oranghidup lagi sempit begini?
MaasyaAllah, lihatlah hal-hal kecil yang ada disekeliling kita. Ada pasangan, anak, orang tua, itu nikmat. Punya mata, hidung, telinga, belum lagi organ tubuh lainnya yang berfungsi baik, itu nikmat. Akar dari kekufuran atas nikmat Allah adalah mengangankan apa-apa yang belum dimiliki, alih-alih memeluk erat apa yang telah diberi. Selain itu, rajin-rajin lah silaturahim. Selain akan menambah rizki, juga menimbulkan kesyukuran baru bahwa derita kita bukanlah yang paling berat di dunia ini. Masih ada saudara-saudara fakir yang menanti uluran sedekah kita, masih banyak anak-anak yatim yang merindukan kasih sayang, bahkan usapan lembut di kepalanya. Juga akan kita dapati, tetangga atau rekan yang ternyata jumlah hutangnya berkali-kali lipat jumlahnya dari hutang yang kita miliki. Jadi bergeraklah, bawa atau beli sesuatu dan jalin kembali tali silaturahim. Setelah itu, doakan mereka satu persatu atas kesulitan mereka. Maka pohon kesyukuranmu akan tumbuh dan membuahkan rizki yang subur, berlipat—lipat jumlahnya...
Sekarang di apato kami ada sebuah celengan yang bertuliskan “Tabungan Naik Haji Sekeluarga”, insyaAllah 2019. Ada 9orang jumlahnya karena dengan bapak ibu dan mertua. Mohon doanya ya, Allah yang Maha Kaya segera mencukupkan, agar kami bisa berangkat dari sini karena menunggu kuota Indonesia masih belasan tahun lagi. Sungguh kami telah rindu ya Allah, dan entah usia kami dan orangtua kami masih cukup panjang untuk menunggu selama itu... Yaa Ghaniy...
Salam ukhuwah dari negeri sakura, semoga sepulang perjalanan dari Baitullah rekan-rekan bisa berkunjung kemari. Sungguh budaya mereka penuh budi pekerti sebagaimana Rasulullaah SAW mengajarkan kita akan nilai-nilai Islami. Wallaahu’alam.
Ikenobe-Kagawa Prefecture, Jepang,
8 Mei 2017
Ulya Supernova


Ummii, Semoga tulisan tulisan umi di blog ini, menyatu dalam sebuah novel best seller, yang dengannya kami bisa mengambil sejuta hikmah dan inspirasi.... (Pesen duluan y Umi, yang ada tanda tangan umi sekeluarga :) )
ReplyDelete