Pendidikan Gratis Versi Jepang dan Indonesia, Beda!
Ketika rencana keberangkatan kami akan membawa anak-anak, maka jauh-jauh hari sudah menanyakan tentang pendidikan dasar di Jepang kepada sahabat yang baru pulang ke Indonesia dengan anak-anaknya. Kata pertama yang kami ingat terus adalah pendidikan di Jepang gratis, selain bla bla bla keunggulan yang dikisahkan beliau. Mendengar ini kami berkeyakinan mampu membawa ketiga buah hati ke negeri sakura, karena kehidupan kami disana hanya akan ditopang dari beasiswa pendidikan doktoral suami. Karena biaya adalah faktor terpenting keberlangsungan hidup, utamanya bagi ryugakusei (mahasiswa luar negeri) seperti kami.
Hari pertama kedatangan kami langsung diantarkan oleh Professor suami - yang sudah saya kisahkan bahwa beliau baik hati, tidak sombong dan rajin menolong- ke Kantor Pemerintah Miki Town setempat untuk mengurus segala keperluan administrasi. Hampir 2 jam kami disana dari satu counter ke counter lainnya, mendaftar pengurusan asuransi kesehatan, tunjangan anak, sekolah anak-anak dan sebagainya. Ohya, bersekolah di Jepang akan ditunjuk oleh pemerintah anak kita akan sekolah di SD Negeri mana (kecuali jika mendaftar swasta seperti yang populer di kota-kota besar Tokyo dan sekitarnya), dan kebanyakan anak-anak di Miki Town bersekolah di sekolah negeri. Disana juga yang menawarkan kapan anak-anak mulai bersekolah, biasanya satu bulan kemudian karena dipersilahkan untuk beradaptasi dengan segala hal yang baruu di negara Jepang, terkait cuaca, budaya, makanan, bahasa dan sebagainya. Kami sepakat mulai sekolah tanggal 8 Mei 2017. Setelah diperlihatkan sekolah Raisa dan fasilitas yang dimilikinya (gedung sekolah bertingkat yang luas, ruang musik, lapangan olahraga luas dengan semua kebutuhan olahraga basket, sepakbola, dll, kolam renang dewasa dan anak milik sekokah) saya baru mengerti bahwa semua sekolah dasar negeri di Jepang memiliki standar fasilitas yang sama yang disediakan oleh pemerintah. Wajar saja jika masyarakat tak perlu berebutan ke sekolah 'favorit' seperti di Indonesia, cukup ke sekolah terdekat dari rumah. Ini kunci pertama mengapa siswa Jepang berangkat sekolah dengan berjalan kaki bersama teman-temannya.
Ohya, kenapa menghabiskan waktu 2 jam di kantor pemerintah, karena setengah waktunya adalah mentranslate komunikasi antara pegawai pemerintah dengan kami melalui professor. Cukup 2 jam itu saja di satu tempat, hanya dari satu counter ke counter lainnya. Terkait pembayaran cukup ditransfer melalui bank. Ini menjadi pemikiran saya tersendiri bagaimana di Indonesia untuk mengurus pendaftaran sekolah, asuransi kesehatan, tunjangan anak harus dilakukan di tempat dan waktu yang berbeda. Belum dengan molornya waktu dan tidak profesionalnya pelayanan, ditambah fasilitas ruang tunggu yang tidak memadai. Disini? Ada area khusus anak yang tersedia buku-buku bacaan dan boneka, bahkan saya dipersilahkan menggunakan nursery room untuk menyusui si kecil dengan nyaman, di lantai 2 dengan lift dan diantarkan khusus pegawai perempuan bagian pelayanan ibu dan anak. Sugoi!
Kembali ke topik bahasan pendidikan. Dari kantor pemerintah kami telah diberikan formulir untuk diisi, dan dibawa saat kunjungan ke sekolah. Selain jadwal kunjungan ke sekolah ditentukan, kami pun diberikan jadwal kunjungan dokter untuk pemeriksaan gigi. Dihari yang ditentukan, kembali ditemani oleh Professor yang baik hati, tidak sombong dan rajin menolong yang bertindak sebagai guide sekaligus translator, kami berkunjung ke sekolah Raisa. Disana kami ditanyakan terkait riwayat vaksinasi, kesehatan anak apakah memiliki penyakit dan alergi makanan tertentu, apakah akan membawa bekal atau makan bersama dengan menu sekolah (tentu saja dengan bekal sendiri mengingat kehalalan makanan, tapi tetap menerima susu yang diberikan sekolah saat makan siang), dan beberapa pertanyaan standar sekaligus perkenalan. Setelah itu kami diantar melihat ruang kelas yang akan ditempati Raisa nantinya. Gurunya menjelaskan apa-apa saja yang harus disiapkan dengan menunjukkan barang-barang serupa milik siswa lainnya di kelas.
Baik, singkat cerita kami harus mulai berbelanja. Yang paling penting adalah tas sekolah, bukan? Ya, tas anak-anak sekolah di Jepang standar dan sama di seluruh wilayah. Berkualitas baik dan bergaransi 6 tahun, wajar saja jika harga tas ini sangat mahal. Lengkapnya bisa dibaca di tautan berikut.
http://www.cerpen.co.id/post_134319.html
Foto diatas kami jepret sendiri saat menilik harga di tempat perbelanjaan terdekat. Paling murah 56.000 yen dan yang ungu lucu diatas 72.000 yen. Tapi ini bukan yang paling murah, seorang teman mahasiswa lainnya memposting harga 140.000 yen untuk sebuah tas. Kalau dikali kurs saat ini, satu buah berkisar 6 - 16 juta rupiah. Dahsyat, ya? Tapi tetap saja Raisa punya rezeki untuk dapat tas serupa. Tadaaa...
Masih bagus, bukan? Masih banget! Karena tas diatas adalah pemberian dari Professor yang (sekali lagi saya sebutkan) baik hati, tidak sombong dan rajin menolong. Beliau memikirkan bahwa hal ini bisa jadi kesulitan terbesar kami. Maka beliau mencarikan temannya yang anaknya telah lulus SD dan mau menghibahkan tas sekolahnya. Alhamdulillaah, rezeki anak sholihah... Meski ada yang dijual bekas di BookOff store, tetap saja harganya diatas 9000 yen atau diatas 1 juta rupiah. Beliau juga mengajak suami dan Raisa ke Yakuba untuk mendapat baju sekolah layak pakai disana. Karena tak bisa menolak, kami pun menerima 2 stel jas dan rok sekolah atas bantuan beliau (lebih dari pantas untuk di sebut baik hati, tidak sombong dan rajin menolong, bukan?) . Kami baru sadar kalau harga jaket sekolah anak SD diatas 11.000 yen atau berkisar 1,5juta rupiah dan roknya 4000 yen atau diatas 500ribu rupiah. Hehehe (ketawa miris melihat harga-harganya). Dan kualitasnya jangan ditanya, meski sudah bertahun-tahun dipakai warnanya kurang lebih sama saja. Dan baju dalaman kaos panjang ini seharga 2000 yen atau sekitar 250 ribu rupiah. Ada versi lengan pendek untuk musim panas, tapi karena Raisa berhijab, tetap saja akan memakai yang panjang. Dan kesan pertama ibu guru adalah, apakah Raisa tidak panas dengan hijab plus celana leggingnya? Daijoobu sensei (tidak apa-apa ibu guru) :-)
Nah itu adalah perlengkapan Raisa. Berikut adalah perlengkapan Rumaisha. Beda dengan siswa SD, Rum diminta menyisihkan 20.000 yen di rekening bank ayahnya untuk di auto debet. Dan ini adalah benda-benda yang didapatkan Rumaisha dari pihak sekolah untuk dilabeli namanya, setiap item sampai yang terkecil.
Nah, pianika adalah barang wajib bagi anak TK dan SD di Jepang untuk pelajaran Ongaku (musik). Biasanya pianika TK akan dibawa ke SD, dan disimpan di sekolah. Dengan sendirinya Raisa harus membeli sebuah pianika baru, seharga 6777 yen atau sekitar 800an ribu rupiah (glek). Sementara untuk barang-barang kecil lainnya yang harus disiapkan Rumaisha antara lain sebagai berikut.
Awalnya botol minum Raisa standar saja, akan tetapi karena kebanyakan anak-anak Jepang membawa termos air (sehingga di musim dingin biasanya air akan tetap hangat), maka saya pun membelikan Raisa barang serupa. Merknya Thermos (saya baru tau itu nama merk, seperti masyarakat Indonesia menyebut Honda untuk sepeda motor, apa mungkin ini pendahulunya?) yang dipakai sebagian besar anak-anak lainnya. Harganya? 3800 yen atau diatas 400ribu rupiah (glek, lagi). Itu sudah yang paling murah, mau cari yang lebih mahal banyak.
So... Ini itu barang-barang kecil persiapan Raisa dan adiknya lumayan menghabiskan belasan ribu yen lainnya. Hmmm... Semua saya beli dan bayar dengan uang sendiri. Dimana letak gratisnya? Bahkan baru-baru ada tagihan peralatan matematika 2450 yen, tas dan topi renang 1700 yen, dan baju renang yang harus disiapkan sendiri. Rumaisha harus membeli pot dan pupuknya dengan harga yang lumayan. Hmmm...
Well, kembali ke kisah awal saat saya menceritakan akan mendapatkan tunjangan anak... Pemerintah Jepang akan memberikan tunjangan per bulan bagi setiap anak dalam usia pendidikan dasar (bayi sampai SMP). Besarannya untuk anak pertama 15.000 yen dan 10.000 yen untuk anak berikutnya. Jadi total yang akan saya dapatkan perbulan adalah 35.000 yen dan dibayarkan langsung ke rekening, setiap 4 bulan sekali (dirapel). Jadi tidak antri seperti menerima BLT di Indonesia. Kalau baby Rasikh ya untuk beli diapers dan susu. So, setiap anak mendapat 120.000 yen pertahun dan anak pertama mencapai 180.000 yen. Jadi total yang akan diterima 3 orang anak saya setiap tahun adalah 420.000 yen atau sekitar 50 juta rupiah (kali ini saya bisa tersenyum lebar membayangkan uang pangkal dan pernak pernik persiapan sekolh akan terganti saat rapelan nanti). Makin banyak anak makin bagus dibawa sekolah disini :-) Dan ini juga berlaku kepada semua anak Indonesia lainnya yang ikut orangtuanya studi di negara ini, yang mendaftarkan diri secara resmi kepada pemerintah setempat.
Monggo yang mau menghitung total yang saya keluarkan untuk persiapan sekolahnya anak-anak diawal, lalu dibandingkan dengan tunjangan anak yang diberikan pemerintah Jepang. Kira-kira, apakah bisa dibilang pendidikan di Jepang gratis? Lalu, pilih mana antara konsep pendidikan gratis Jepang dan Indonesia?
Jadi, jangan khawatir bersekolah disini dari segi biaya. InsyaAllah masih bisa untuk nabung, kok. Dan terkait jilbab apakah diperbolehkan, melihat Raisa dengan jilbabnya diawal kunjungan justru pak Kepala sekolah dan ibu guru tidak mempertanyakan, sepertinya mereka sudah menyimpulkan sendiri tanpa harus bertanya kepada kami. Justru yang menjadi perhatian mereka adalah apakah suka tinggal disini, sudah belajar bahasa dan semacamnya. Dan benar saja mereka mengizinkan meski Raisa siswi pertama dan satu-satunya yang memakai jilbab di sekolah. Yang penting menyesuaikan saja dengan warna baju atau warna standar tanpa aksesoris berlebihan. Tapi berbeda dengan Rum, ibu guru memang meminta khusus sesi foto bersama atau penampilan seperti Undokai, jilbab dilepas sementara. Kami pikir tidak masalah, karena hanya sebentar dan anak-anak juga pada dasarnya belum memiliki kewajiban menutup aurat. Dan bagaimana pendapat teman-teman, guru, atau masyarakat sekitar terkait jilbab? Mereka memperhatikan pastinya, dan anak-anak sering banyak menuai pujian terkait hijabnya. Kawai (lucu/cute)......!!! Bahkan ada yang penasaran pegang-pengang sambil nanya, "korewa boshi?" (Ini topi?) wajar saja, kalau jilbab lucu seperti ini siapa yang tidak suka? Eits, tapi dilarang digunakan disekolah ya...
Lalu bagaimana dari segi muatan pendidikannya? Apakah sama kelas 1 SD di Jepang dan Indonesia mata pelajarannya?
Insyaallah next time di artikel selanjutnya... :-)





















Comments
Post a Comment