Payung-Payung Kuning Dibawah Rintik Hujan


Bagi siswa-siswa Jepang, hujan bukanlah sebuah kendala untuk tidak berangkat ke sekolah. Itu sebabnya payung menjadi barang yang wajib dimiliki setiap siswa. Dan senada dengan warna topi yang setiap hari digunakan berangkat dan pulang sekolah, kuning adalah warna seragam payung siswa SD di Jepang. Sementara anak-anak TK masih bisa menggunakan warna dan corak yang berbeda-beda, sama halnya dengan sepatu dan tas sekolah.


Oleh karena sebagian besar masyarakat Jepang menggunakan iphone, tak heran mereka memiliki aplikasi cuaca serupa di perangkat gadgetnya. Aplikasi ini sangat akurat, bahkan bisa menjabarkan kondisi cuaca yang berubah-ubah per jamnya dalam sehari. Jadi saat setiap anak akan berangkat sekolah pagi hari, meski hari tampak cerah dan hanya sedikit berawan, semua akan serempak membawa payung dari rumah jika aplikasi cuaca menunjukkan bahwa sore hari saat pulang sekolah akan hujan. 

Aplikasi prakiraan cuaca di Iphone
Selain payung, benda lain yang dimiliki setiap siswa adalah sepatu boot. Sepatu ini penting digunakan saat kondisi hujan deras dan jalanan becek. Terdapat berbagai motif dan ukuran sepatu boot untuk anak laki-laki dan perempuan yang dijual dipasaran. Selain itu, jas hujan anak juga menjadi barang penting lainnya untuk menjaga agar seragam sekolah tetap kering selama dalam perjalanan hingga tiba ke tempat tujuan.


Sepatu boot Raisa dan Rumaisha

Karena hujan hari ini tidak begitu deras, maka sepatu ini tidak digunakan oleh Raisa dan teman-teman. Hari hujan justru menjadi suasana baru yang ditunggu anak-anak ini. Hajimete, hari pertama Raisa berangkat sekolah menggunakan payung. Raisa dan teman-teman tampak bersemangat melangkah setapak demi setapak dengan kaki-kaki kecil mereka. Saya yakin, hingga dewasa kenangan 'hujan dan payung kuning' akan melekat seerat dekapan dingin udara.

Raisa dan teman-teman dibawah rintik hujan

Ah, saya jadi ingat bagaimana repotnya mengantar anak-anak ke sekolah saat masih di Indonesia ketika hari hujan. Mulai dari sulitnya membangunkan anak, hingga menjaga mereka tetap kering sampai di depan sekolah. Disini, anak-anak menikmati kerepotannya sendiri. Tiba di sekolah atas akumulasi ayunan langkah kaki, badan tetap kering atas akurasi memayungi diri. Wajar jika anak-anak tumbuh menjadi pekerja keras yang mengandalkan usahanya sendiri. Hanya dari jalan kaki saja, mereka telah memetik buah pelajaran. Setengah jam pagi hari, setengah jam sore hari. Lima hari seminggu, empat minggu tiap bulan, dan dua belas bulan dalam setahun. Bukan hanya kaki-kaki kecil mereka yang akan berotot kuat, lebih dari itu, adalah apa yang semakin kuat "berotot" dalam kepribadian mereka.

Ya, Jepang memang terkenal dengan budaya workaholic-nya. Ternyata, semua berawal dari hal-hal kecil seperti ini. Dimana hujan adalah pesta para pejalan kaki. Bahwa bersahabat dengan segala kesulitan bahkan sejak di pagi hari, telah mereka jalani sejak dini. Tapi untuk menerapkan hal serupa di tanah air, banyak kunci-kunci mendasar yang sulit diteladani, mulai dari budaya pemerintahan hingga fasilitas pendidikan yang berbeda sama sekali. Maka membangun sebuah mentalitas dan budaya kerja keras saja, ternyata butuh sistem yang saling berkait mendukung satu sama lain.

Sebuah PR besar untuk pendidikan tanah air dari sebuah kisah pagi ini.

Allaahumma shayyiban nafi'an.


Yenni Mulyati



Comments

Popular posts from this blog

Masjid Pertama Kagawa dalam Doa dan Cita

Niat Pulang Kampung - Part 1

Pendidikan Karakter Khas Jepang (Part 2)