JAWABAN



Keimanan itu bukan kenaifan, ia selalu menyisakan ruang untuk bertanya kepada Sang Pencipta. Seperti Rasulullah SAW khusyu’ memohon kepada Allah untuk memenangkan pasukan Islam, menjelang meletusnya perang di padang Badar. “Atau Engkau tak lagi disembah di bumi, Yaa Allah, kecuali Engkau memang menghendaki untuk tak lagi disembah di bumi ”, ucapnya antara takut dan penuh harap. Atau laiknya Nabi Ibrahim as, walaupun keyakinan beliau di puji hanifan musliman oleh Allah dalam Kitab-Nya, beliau juga pernah meminta Allah menunjukkan bukti kekuasan-Nya untuk menghidupkan burung yang sudah mati. “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap)”, ujar kekasih Allah itu dalam kitab suci.

 Kedua sosok mulia tersebut - yang namanya disandingkan dalam shalawat dan di agungkan dalam Al-Qur’an – tentu tidaklah bermaksud meragukan atau menguji Dzat yang Maha Hakiki. Namun keduanya mengajarkan tentang keimanan yang sempurna, agar senantiasa menyisakan ruang untuk bertanya kepada Sang Maha Mengetahui. Dan jawaban Allah selalu datang kepada orang-orang yang meyakini kebesaran dan janji-Nya yang pasti, dengan usaha dan tawakkal tak kenal henti.
Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh (Q.S. Al-Ma’arij: 19). 

Keluhan, pertanyaan, lintasan pikiran, atau apapun namanya, akan muncul dalam perjalanan manusia dalam mengarungi takdir hidupnya di dunia. Semua bentuk pertanyaan itu kemudian membutuhkan jawaban sebagai bentuk pemuas rasa, ibarat air mengalir yang berujung muara. Ibarat sekeping puzzle hilang yang tengah dicari untuk melengkapi sebuah gambaran utuh sempurna. Gambaran tentang seseorang yang menemukan jawaban atas pertanyaannya.
***
Seseorang itu adalah mahasiswi semester akhir di salah satu universitas terkemuka, yang tengah dilanda kepenatan atas pilihan studinya. Bagaimana tidak, jurusan yang dipilihnya mentuntut untuk mendalami teori-teori yang bertentangan dengan akal sehat dan hati nurani yang murni. Di salah satu kelas dibahas bagi masyarakat agama adalah candu. Agama membuat masyarakat bersikap rasional dan menjadi tidak maju, karena mengajarkan Tuhan yang menyesatkan masyarakat karena serba bisa hanya menipu. Lain waktu, dosen memberi tugas mengupas teori yang diawali dengan "Apakah kepercayaan akan Allah dapat dipertanggungjawabkan?" dan pertanyaan selanjutnya, “Apakah agama benar-benar baik bagi manusia Dan juga diskusi-diskusi mengenai eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia ada dan kemudian menentukan "siapa dirinya". Pencetus teori ini tidak mengakui Tuhan lebih tinggi dari manusia, ujung-ujungnya menggiring pada pembenaran: penyangkalan akan Tuhan. Benar-benar mendobrak kejernihan pikir dan rasa sang mahasiswi terhadap Allah, Rasul-Nya dan Al-Qur’an. 

Di titik kulminasi itulah, ia secara tidak sengaja berkesempatan berchatting ria dengan seorang kakak tingkat almamater yang tengah melanjutkan studi. Bukan hanya sosok ini spesial karena aktivis kampus yang lulus cumlaude, tapi juga pilihan studi S2nya adalah jurusan yang membahas apa yang dibenci sang mahasiswi. Ya, jurusan Sastra Inggris dengan salah satu dosen berdoktrin, “Kalau mau belajar sastra, tinggalkan ideologimu diatas meja, dirumah!” Bukan main, bagaimana kakak itu justru memilih tetap setia berjibaku dengan teori-teori yang pragmatis orientalis itu?” pikir sang mahasiswi.
Tapi pertanyaan yang penuh takjub itu, dibalas lugas dengan jawaban yang lebih menakjubkan. Hingga tertegun sang mahasiwi memandangi layar komputer rental diruang lesehan sempit 1x1 meter persegi itu, tak terpikirkan sebelumnya ada alasan demikian. 

“Dik, Mbak juga pernah mengalami perasaan serupa. Lebih parah malah, hampir nekad pindah jurusan. Tapi kemudian mbak berpikir, kalau yang punya passion untuk mendalami bidang ini hanya orang-orang Barat, maka siapa yang akan mengcounter pemikiran mereka? Bagaimana kita bisa melawan pendapat yang dipatenkan jadi teori; Marx, Freud, Sartre, para Yahudi dan atheis lain yang tak bertuhan?

Belum lagi para feminis yang semakin gencar mencuci otak tentang konsep gender. Bahwa perempuan harus sederajat dengan dengan laki-laki di bidang ini-itu, yang ujung-ujungnya menggugat konsep Islam; kenapa wali nikah dari perempuan saja, kenapa talak di tangan laki-laki, atau kenapa tidak disamakan saja persentase waris bagi perempuan dan laki-laki sebagai asas keadilan agama? 

Kita harus melawan pendapat mereka, Dik. Karena itulah Mbak mengambil S2 linier, Sastra Inggris. Lama-lama dinikmati jadi suka. Kita harus mengambil peran itu, belajar hingga doktor bahkan professor. Agar pendapat kita diakui, agar izzah Islam bangkit lagi. Mau bergabung dengan Mbak, Dik? Ayo, semangat!”

Tak cukup sampai disitu, sang mahasiswi - yang juga belajar di salah satu lembaga tahfidz qur’an dekat kampusnya- sesampainya di ma’had, langsung mengadukan masalahnya pada sang ustadzah. “Lebih baik saya mengambil bidang ilmu Al-Qur’an saja, Umi…”, begitu curhatnya di penghujung. Alih-alih mendukung, beliau justru memberi nasehat tak tanggung-tanggung.

“Anakku, seorang muslim itu harus itqon, profesional. Sejak SD sampai kuliah, pendidikanmu di sekolah umum saja bukan? Alangkah baiknya kamu bersabar mendalami ilmu tersebut, kalau bisa S2 dan S3 dibidang yang sama. Masyarakat itu menilai dan menghargai lebih seseorang yang mendalam kapasistas keilmuwannya. Itu akan berdampak pada dakwah kita kepada mereka. Semestinya, kompetensi Al-Qur’an dan Bahasa Inggris adalah kombinasi yang unik untuk berdakwah ke kaum ammah. Dua semester lagi, anakku, bersabarlah!”

Tak terbantahkan, lengkap sudah. Meneguhkan langkah sang mahasiswi menyandang gelar sarjana, juga menggenapkan hafalan Al-Qur’annya. Tapi ada  sebuah jawaban lain yang ditemukan oleh sang fresh-graduate (setelah tahun ke-5 kelulusannya, mungkin lebih tepat disebut longstanding-graduate). Sebuah keping puzzle terakhir yang teringat kembali. Tak sengaja dicari, tapi Allah menunjukkan dengan penuh teliti.  Menghujam, langsung ke hati. 

Saat itu ba’da ashar di sebuah pelataran masjid, seorang rekan kerja – juga seorang guru baginya yang sangat dikagumi – menawarkan peluang untuk mengikuti Musabaqah Tilawatil Qur’an cabang lomba yang baru pertama kali didengarnya: Tafsir Bahasa Inggris. Sebuah cabang lomba yang menguji sebelas juz hafalan Al-Qur’an, dilanjutkan pertanyaan tafsir salah satu juz yang sudah ditentukan. 

Ia pun memutuskan ikut serta. Baginya, itu adalah kesempatan mengulang hafalan dan belajar ilmu baru. Di hari-hari persiapannya belajar untuk mengikuti lomba, ingatan itu kembali menyeruak. Semester dua, masa-masa awal bergabung bersama kafilah penghafal Kalamullah. Berbekal ilmu tajwid yang minim, jadilah ia santriwati terburuk dalam tilawah. Ia pun harus harus belajar lebih keras, dan banyak mengadu kepada Sang Pemilik Ilmu. 

Sebagai seorang mahasiswi Sastra Inggris, British pronunciation menuntutnya berucap dengan cepat, menempelkan kata perkata. Itulah fasih. Fluent. Tapi berbeda dalam urusan membaca Al-Qur’an. Setiap pelafalan huruf dan kata Bahasa Arab harus jelas tempat keluar dan sifatnya, tidak boleh menempel atau terseret-seret seperti pelafalan bahasa bangsa Eropa. Itulah fasih. Fashohah. Saat itulah pertanyaan itu muncul. Padahal kecil saja pertanyaan itu, sedikit terbersit, kemudian terkubur lamanya waktu berlalu. Namun Allah tidak pernah luput terhadap segala sesuatu. Mengutip Andrea Hirata, Tuhan tahu tapi menunggu. Jawaban itu menjadi dejavu* yang membuat ia sangat malu.
Malu pada Sang Maha Tahu. 

“Apa hubungannya ya… speaking Bahasa Inggris dengan Al-Qur’an?”

***

Belajar dari kisah sang mahasiswi, meski hanya terbetik di hati atau sekedar terlintas di memori, setiap orang pasti punya pertanyaan-pertanyaan. Apalagi bila terkait hal-hal besar guratan nasib setiap insan: siapa jodoh melepas lajang, bagaimana rezeki ‘kan dikumpulkan, atau kampung akhirat kapan berpulang. Allah sudah menyiapkan untuk setiap makhluk jawaban-jawaban terbaik yang dipilihkan, sejak awal hingga akhir penciptaan. Tiada satupun yang luput dari pengetahuan. Jawaban bagi kecil atau besar sebuah tanya sudah tersedia, hanya menunggu masa terbuka tabir rahasia. Jawaban itu adalah hikmah, yang tak pernah terlambat apalagi salah, selama baik kepada Allah sangka itu mengarah. 
Wallaahu’alam bishshowab.


Catatan:
Dejavu  : perasaan seperti sebelumnya pernah mengalami sesuatu
Ma’had                : pondok
Ammah                : umum

Ditulis oleh Yenni Mulyati, S.Hum; diterbitkan dalam majalah IMAGE MAN Insan Cendekia Gorontalo bulan Juni tahun 2014 Angkatan Metamorf. 
"Terimakasih anak-anakku Metamorf, kalian memaksa Ummi untuk menulis (lagi) sekaligus mengajarkan makna dari Metamorf"

Anak-anakku Metamorf Tersayang, foto izin copast dari afifahfauziyahrahmat.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

Masjid Pertama Kagawa dalam Doa dan Cita

Niat Pulang Kampung - Part 1

Pendidikan Karakter Khas Jepang (Part 2)